Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat  penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang  menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia  berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah  Allah sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh  Rasulullah empat belas abad yang lalu.
  
  
  
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah  ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah kepada para sahabatnya  ketika beliau berkata kepada mereka:
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً  وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ  أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي  النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh  (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh  dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh  tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-  Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam  Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa  Fi Ash-Shohihain rahimahumullahu
Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah  kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakansuatu  ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan  merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah I Maha Mempunyai  Hikmah dibelakang hal tersebut.
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu
Allah berfirman:
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan  (begitu saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak  diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang- orang yang sebelum  mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan  sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut:  29 /1-3).
Dan Allah juga berfirman:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang  satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang  yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan  mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:  “Sesungguhnya  Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka)  semuanya.” (QS. Hud: 10/118-119)
“Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua  dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk  orang-orang yang jahil.” (QS. Al-‘An’am: 6 /35)
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya.  Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana  dalam sabda Rasululullah:
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا  كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat  terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya  setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh  Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud 
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ  يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا  عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ  سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ]وَأَنَّ هَذَا  صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ  فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
“Pada suatu hari Rasulullah menggaris di depan kami satu garisan lalu  beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris  beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini  adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru  kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini  adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti  jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS.  Al ‘An’am : 6 / 153)
Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 244,  Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam  As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad  1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan  6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7  dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348,  Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah  6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal  Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al- Albany dan  Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari  beberapa sisi:
Pertama: Definisi Sunnah.
  Sunnah secara lughoh (bahasa): berarti jalan, baik maupun jelek,  lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhurdalam  Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas. Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah.  Rasulullah r bersabda:
مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا  وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ  سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا  مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan  pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat  sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya  setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohihnya no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan  Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah  I/19.
Adapun secara istilah: Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum.  Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para  ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni:
- Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi r baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
- Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi r selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
- Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi r di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna  yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary: “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah  sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari  keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65  point 1).
Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-Muwafaqot 4/4: “(Kata sunnah)  digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan  di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi r yang  sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si  Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut  (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 4/180 menukil dari Imam Abul Hasan  Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata: “Ketahuilah… bahwa  sunnah adalah jalan Rasulullah dan mengupayakan untuk menempuh jalannya  dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullahu ta’ala dalam Jami’  Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249:
“Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka  hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa- apa yang beliau  berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa  keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena  itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali  apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini  diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh.”
Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama rahimahumullah
1. Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
2. Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
3. Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
4. Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
5. Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
6. Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
7. Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
8. dan lain-lainnya.
Lihat: Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan  Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua: Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran  tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-red.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3  hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah: “Mereka adalah  orang-orang yang berpegang teguh dengan Al- Qur’an dan sunnah  Rasulullah r dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang  pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang  mengikuti mereka dengan baik.”
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus  Sunnah 
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talbis Iblis hal. 21: “Tidak ada  keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah r  dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di  atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan  bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah r dan para sahabatnya.”
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/157: "Termasuk jalan  Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah secara  zhohir dan batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama  dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah  tatkala berkata: “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para  khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah  kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan  berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara yang  baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa 3/375 ketika memberikan  defenisi tentang Ahlus Sunnah: “Mereka adalah orang-orang yang  berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah dan apa-apa  yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin  dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata:  “Siapa yang berkata  dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah  Wal Jama’ah."
Berkata Abu Nashr As-Sijzy: “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh  di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus  Sholeh mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka  dari Rasulullah r atau dari para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum  pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wassalam, karena mereka itu radhiyallahu ‘anhum  para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan  sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya  keterangan tentangnya.”  (Lihat : Ar-Raddu ‘Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam  tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah  orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan  petunjuk Allah dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari  kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka  dengan baik .
Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang  memperhatikan hadits- hadits Rasulullah akan disyariatkannya penamaan  Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di  atas.
Rasulullah r menyatakan dalam hadits ‘Irbath bin Sariyah 
صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ  صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً  وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا  يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ  أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ  عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى  اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ  الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ  وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau  menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang  hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata :  “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka  berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda: “Saya wasiatkan kepada  kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun  yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang  Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia  akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah  kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang  mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah  kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah  bid’ah.”
Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya. Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahualam.
Lihat: Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul  Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi Jama’ah.
Jama’ah secara lughoh: Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan  sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan  mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan  lawannya adalah perpecahan.”
Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna  jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah, di antara  hadits-hadits itu adalah:
Satu: Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua: Wasiat Nabi kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat  Bukhory-Muslim , beliau berkata :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya.”
Tiga: Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah r  bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً  جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun  kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah.”
Empat: Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah bersabda :
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah.”
Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di  dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam  hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran:
Tafsir-I: Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar  dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah  bin Mas’ud dan Abu Ghalib.
Tafsir-II: Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama  hadits, dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah I  menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka  pada perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah: ”Mereka adalah ahlul  ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah: ”Apabila mereka bukan  Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka.”
Dan Imam Tirmidzi berkata: ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para  ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits.”
Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway,  ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf  dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Tafsir-III: Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits  perpecahan umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang  selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain: “Apa-apa yang  aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar  bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.
Tafsir-IV: Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka  bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini  disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.
Tafsir-V: Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka  bersepakat di bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu  Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.
Tafsir-VI: Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini  adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.
Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna  Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan  sebagai berikut:
- Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
- Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
- Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al- Jama’ah kembali kepada dua perkara:
Satu: Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang  pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen  terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan  kudeta terhadap pemimpinnya .
Dua: Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh  Rasulullah r kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli  ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan  pengikut kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah:
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau  sendiri.”
Berkata Abu Syamah dalam Al-Ba’its hal. 22: “Dan apabila datang  perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah  komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun  yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang.  Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama r dan para  sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul  bathil setelah mereka.”
Lihat: Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus  Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23,  Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal  Asy’ariyah 1/26-32.
Kesimpulan
Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah  Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti  mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang  berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti  mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. Wal Ilmu ‘Indallah.
Dikutip dari http://www.an-nashihah.com, Penulis: Al Ustadz Abu  Muhammad Dzulqornain, Judul asli: Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, Siapakah  Mereka?
Wassalam, Abu Muawiah
 





 
 
 
 



0 Comments