KEBENARAN itu wajib diterima dari siapapun, selama terbukti secara ilmiah dan syari'ah sebagai sebuah kebenaran. Ia tidak harus datang dari “komunitas kita”, atau “ustadz kita”, atau “syaikh kita”, baru kita mau menerimanya. Karena parameter suatu kebenaran di dalam Islam adalah dalil, bukan “kelompok” atau “tokoh” tertentu.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; "Kalimat hikmah adalah senjatanya orang bijak. Di mana saja ia menemukannya, maka ia berhak atasnya."
Merujuk pada hadits tsb, salahsatu pesan Saiyidina Ali bin Abi Thalib ra yang kemudian masyhur, khususnya di kalangan para pencari ilmu adalah;
انظر ما قال و لا تنظر من قال
"Unzhur ilaa maa qoola walaa tanzhur ilaa man qiila - Lihatlah apa yang disampaikan, jangan lihat siapa yang menyampaikannya.”
Kalimat tsb mengisyaratkan kepada kita bahwa barangsiapa yang hanya mau menerima apa yang disampaikan oleh “ustadznya” atau oleh “komunitasnya” saja, lalu menghakimi apa yang datang dari luar keduanya, sudah pasti salah! Dia telah terpeleset ke sebuah lembah sesat bernama Hizbiyyah.
Hal ini berlaku juga bagi mereka yang membenarkan asumsinya sendiri ketika menghakimi pendapat orang lain dalam hal ilmu agama, tapi tanpa pengetahuan yang cukup tentang dalil-dalil yang relevans terhadap isu yang dihakiminya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra menjelaskan:
وهذا يبتلى به كثير من المنتسبين إلى طائفة معينة في العلم أو الدين من المتفقهة أو المتصوفة وغيرهم، أو إلى رئيس معظَّم في الدين غير -النبي صلى الله عليه وسلم- فلا يقبلون من الدين رأيا ورواية إلا ما جاءت به طائفتهم، ثم إنهم لا يعملون بما توجبه طائفتهم، مع أن دين الإسلام يوجب اتباع الحق مطلقا من غير تعيين شخص غير النبي صلى الله عليه وسلم.
“Ini menimpa kebanyakan dari orang-orang yang menasabkan diri kepada komunitas tertentu dalam hal ilmu dan agama dari kalangan ahli fiqh atau tasawwuf dan selain mereka, atau kepada pimpinan yang diagungkan dalam agama – selain nabi -. Maka mereka tidak mau menerima agama baik berupa pendapat ataupun riwayat kecuali apa yang dibawa oleh kelompok mereka. kemudian sesungguhnya mereka tidak mengamalkan dengan apa yang diwajibka oleh kelompok mereka. Padahal, Islam mewajibkan untuk mengikuti kebenaran secara mutlak, tanpa membatasi orang tertentu selain nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.” [ Iqtidha’ Shirat al Mustaqim : 87 ].
Sedangkan dalam konteks ini Imam Asy-Syafii berwasiat, "Jika telah shahih suatu hadits, maka itu adalah madzhabku. Dan jika telah shahih suatu hadits, lemparkanlah kata-kataku (yang menyelisihinya) ke dinding."
Beliau menambahkan, "Setiap yang aku katakan, jika terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka hadits shahih itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku."
Sikap ini juga diajarkan oleh Imam Malik. Beliau berkata, "Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah!"
Inilah yang diajarkan oleh dua ulama besar ini, yang barakah ilmunya hingga hari ini telah dirasakan oleh umat Islam lebih dari seribu tahun. Mereka dan para ulama lain juga meyampaikan hal serupa; "Pendapatku benar, namun ada kemungkinan salah. Pendapat selainku salah, namun ada kemungkinan benar."
Adapun orang-orang dalam kelompok taassub berprinsip sebaliknya. Mereka beranggapan bahwa pendapat yang mereka yakini sudah pasti benar, tidak mungkin salah. Karenanya, segala pendapat yang menyelisihi pendapat mereka sudah pasti salah, tidak mungkin benar!
Bahkan jika ada ayat-ayat Al-Quran atau Hadits yang dirasa bertentangan dengan pendapat mereka, akan dita'wil sesuai dengan paham yang mereka yakini walaupun ta'wil mereka bertentangan dengan zhahir makna ayat dan hadits tersebut. Mereka menutup mata dan telinga walau mengetahui tidak ada seorang pun ulama mu'tabar terdahulu yang memahami ayat-ayat Al-Quran dan hadits tersebut seperti apa yang mereka ta'wilkan!
Wallahu alam bisyawwab.
0 Comments