Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang Allah SWT, sifat-sifat yang wajib pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan sifat-sifat yang sama sekali harus ditiadakan daripada-Nya.
Selain itu, ilmu tauhid juga membahas tentang rasul-rasul Allah SWT untuk menetapkan kerasulan mereka, hal-hal yang wajib ada pada diri mereka, hal-hal yang boleh (dinisbahkan) kepada mereka, dan hal-hal terlarang mengaitkannya kepada mereka.
Dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasann terpentingnya adalah menetapkan keesaan (wahidah) Allah SWT dalam Dzat-Nya, dalam menerima peribadatan dari makhluk-Nya, dan meyakini bahwa Dia-lah tempat kembali, satu-satunya tujuan.
Keyakinan tauhid inilah yang menjadi tujuan utama bagi kebangkitan Nabi Muhammad Saw.
Menurut bahasa kata tauhid berasal dari bahasa Arab tauhid bentuk masdar (infinitif) dari kata wahhada, yang artinya al-i’tiqaadu biwahdaniyyatillah (keyakinan atas keesaan Allah).
Sedangkan pengertian secara istilah tauhid ialah meyakini bahwa Allah Swt. itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat syahadat. Laa ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah).
Tauhid artinya mengesakan Allah. Esa berarti Satu. Allah tidak boleh dihitung dengan satu, dua atau seterusnya, karena kepada-Nya tidak layakdikaitkan dengan bilangan. Beberapa ayat al-Qur’an telah dengan jelas mengatakan keesaan Allah. Di antaranya surah Al-Ikhlas ayat 1-4 sebagai berikut:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ . اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ . وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada
pula-diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
MAKNA TAUHID
Kata ‘tauhid’ dalam bahasa Arab adalah mashdar (kata benda) yang berasal dari kata kerja: وَحَّدَ – يُوَحِّدُ – تَوْحِيْدًا wahhada – yuwahhidu –tauhîdan, artinya membuat sesuatu menjadi satu. [Lihat Lisânul ‘Arab, Bâb wa ha da; At-Ta’rîfât, hlm. 96; Al-Hujjah, 1/305, 306]
Adapun secara istilah agama, tauhid artinya mengimani keberadaan Allâh, mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan rubûbiyah dan ulûhiyah, dan beriman kepada seluruh nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. [Lihat Lawâmi’ul Anwâr, hlm. 57; Al-Qaulus Sadîd, hlm. 16; At-Tanbîhât as-Saniyyah, hlm.9; dan Al-Qaulul Mufîd, 1/5]
TAUHID ADALAH AQIDAH BAWAAN MANUSIA [1]
Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan manusia memiliki fitrah beriman kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya. Manusia itu dilahirkan dalam keadaan mengimani keberadaan Allâh Azza wa Jalla bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia. Seandainya manusia dibiarkan pada fitrahnya yang asli, dia pasti tumbuh menjadi orang yang mentauhidkanNya. [Lihat: Tafsîr al-Baghawi, 3/482; Tafsîr Ibni Katsîr, 3/688; dan Ma’ârijul Qabûl, 1/91, 93]
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allâh; (tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar-Rûm[30]:30)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Semua bayi dilahirkan di atas fitrah, kemudian kedua orang tuanya menjadikannya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi. [HR. Al-Bukhâri, no. 1359 dan Muslim, no. 2658]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda meriwayatkan dari Rabbnya, bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
Sesungguhnya Aku (Allâh) telah menciptakan hamba-hambaKu semuanya hanif (lurus; muslim), dan sesungguhnya setan-setan mendatangi mereka lalu menyesatkan mereka dari agama mereka. [HR. Muslim, no. 2865]
Oleh karena itu Nabi Adam Alaihissallam, bapak semua manusia dan semua anaknya yang hidup di zamannya adalah orang-orang yang bertauhid. Keturunan Nabi Adam setelahnya terus berada di atas tauhid sampai datang kaum Nabi Nûh Alaihissallam, setan menampakkan syirik sebagai sesuatu yang bagus kepada mereka dan mengajak mereka menuju syirik, sehingga mereka terjerumus ke dalam syirik.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
"Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allâh mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi kabar peringatan, dan Allâh menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." (QS. Al-Baqarah[2]: 213)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
كَانَ بَيْنَ نُوحٍ وَآدَمَ عَشَرَةُ قُرُونٍ، كُلُّهُمْ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْحَقِّ. فَاخْتَلَفُوا، فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
Antara Nabi Nuh dengan Nabi Adam ada sepuluh generasi, mereka semua berada di atas syari’at yang haq, tetapi kemudian mereka berselisih, maka Allâh mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi kabar peringatan”. [Riwayat Thabari di dalam tafsirnya, 4/275 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 2/546. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/569]
Dan penyebab perselisihan manusia pertama kali di muka bumi adalah kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum Nabi Nûh Alaihissallam , disebabkan oleh sikap ghuluw (melewati batas) dalam mengagungkan orang-orang shalih. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum Nabi Nûh Alaihissallam:
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah (tuhan-tuhan) kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” (QS. Nûh[71]:23)
Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum Nabi Nuh di atas, asalnya adalah orang-orang shalih yang telah mati. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Patung-patung yang dahulu ada pada kaum Nabi Nûh setelah itu berada pada bangsa Arab. Adapun Wadd berada pada suku Kalb di Daumatul Jandal. Suwâ’ berada pada suku Hudzail. Yaghûts berada pada suku Murâd, lalu pada suku Bani Ghuthaif di al-Jauf dekat Saba’. Ya’uq berada pada suku Hamdan. Dan Nasr berada pada suku Himyar pada keluarga Dzil Kila’. Itu semua nama-nama orang-orang shalih dari kaum (sebelum-pen) Nuh. Ketika mereka mati, syaithan membisikkan kepada kaum mereka: “Buatlah patung yang ditegakkan pada majlis-majlis mereka, yang mereka dahulu biasa duduk. Dan namakanlah dengan nama-nama mereka!”. Lalu mereka melakukan. Patung-patung itu tidak disembah. Sehingga ketika mereka (generasi pembuat patung) mati, ilmu (agama) telah hilang, patung-patung itu tidak disembah.” [HR. Al-Bukhâri, no. 4920]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Ini memberikan faidah berhati-hati dari ghuluw dan sarana-sarana kemusyrikan, walaupun niatnya baik. Karena sesungguhnya syaithan memasukkan mereka (orang-orang di zaman Nabi Nuh–pen) dari pintu ghuluw (melampaui batas) terhadap orang-orang shalih dan berlebihan di dalam mencintai mereka. Sebagaimana telah terjadi semisal itu di dalam umat ini. Syaithan menampakkan kepada mereka berbagai bid’ah dan ghuluw dengan bentuk mengagungkan orang-orang sholih dan mencintai mereka. Sehingga akhirnya syaithan menjerumuskan mereka di dalam perkara yang lebih besar dari itu, yaitu menyembah orang-orang shalih itu dari selain Allâh Azza wa Jalla ”. [Fathul Majîd, hlm: 197, penerbit: Dar Ibni Hazm]
MACAM-MACAM TAUHID
Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan macam-macam tauhid di dalam banyak ayat di dalam kitab-Nya. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla di permulaan surat al-Fâtihah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allâh, Rabb semesta alam. (QS. Al-Fâtihah[1]: 2)
Lafazh Allah menetapkan adanya tauhid uluhiyah. Lafazh ‘Rabb semesta alam’ menetapkan adanya tauhid rububiyah. Juga firman Allâh Azza wa Jalla dalam surat ini:
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Fâtihah[1]: 3)
menetapkan adanya tauhid asma’ dan sifat. Juga firman Allâh Azza wa Jalla dalam surat yang sama:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Yang menguasai di Hari Pembalasan. (QS. Al-Fâtihah[1]: 4)
menetapkan adanya tauhid rububiyah. Dan firman Allâh:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (QS. Al-Fâtihah[1]: 5)
menetapkan adanya tauhid uluhiyah.
PEMBAGIAN JENIS TAUHID
Ayat-ayat yang yang menjelaskan macam-macam tauhid banyak sekali dan gamblang menjelaskan macam-macam tauhid ini.
Oleh karena itu para Ulama dari kalangan Salaf umat ini dan semua madzhab empat, Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah, Hanabilah, mereka semua menjelaskan tiga macam tauhid.
Tiga macam tauhid ini adalah:
- Tauhid Rubûbiyah.
- Tauhid Ulûhiyah (Ibadah).
- Tauhid Asmâ dan Sifat.
Sebagian Ulama menyebutkan tiga macam tauhid ini sekaligus, sebagian yang lain menyebutkan sebagian macam tauhid pada waktu pembicaraan tentang permasalahan-permasalahannya, sementara sebagian Ulama menjadikan macam tauhid menjadi dua jenis:
- Tauhid fil ma’rifah wal itsbât (tauhid berkaitan dengan pengetahuan dan penetapan), ini mencakup Tauhid Rubûbiyah dan tauhid asmâ’ dan sifat-sifat Allâh).
- Tauhid fit thalab wal qashd, ini adalah tauhid ulûhiyah
Kedua pembagian itu benar, diambil dari nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. [Lihat: Madârijus Sâlikîn, 3/484, karya imam Ibnul Qayyim al-Hanbali; Syarah ath-Thahâwiyah, hlm. 24, karya imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi; dan Syarah Fiqih Akbar karya imam Mula Ali al-Qari al-Hanafi]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. ]
__________
Footnote
[1] Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 35-37, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujkan yang lain.
[Sumber: Al-manhajj ]
0 Comments