TENTANG ADANYA kisah kaum terdahulu yang dimuat dalam Al-Qur’an merupakan satu topik yang juga sering dipermasalahkan oleh umat Kristen, sebab banyak terdapat kesamaannya, baik dengan kisah yang dimuat dalam alkitab maupun dalam kitab-kitab apokripa yang dikategorikan sebagai cerita rakyat (folklore) Yahudi tapi tidak dimasukkan dalam ayat-ayat alkitab.
Kita ambil saja sebagai contoh,
- Kisah burung gagak yang dijadikan contoh oleh Qabil bagaimana cara menguburkan mayat Habil yang dibunuhnya (al-Maaidah 31) mirip dengan kitab Tradisi yahudi kuno tulisan Pierke rabbi Eleazer (150M-200M) dan Jewish Mishnah Sandhedrin 4:5 yg ditulis pada abad 2.
- Kisah Nabi Sulaiman dan singgasana ratu Bilqis (an-Naml 17-44) berkesuaian dengan Tarqum II Ester yang ditulis abad ke-2 SM.
- Kelahiran Maryam (Ali Imran 35-37) mirip dengan buku apokripa The Protevangelion’s James the Lesser 4:4, 5:9 dan 7:4.
- Cerita nabi Ibrahim menghancurkan berhala (as-Saaffaat 91-97) sama dengan yang dimuat dalam cerita rakyat Yahudi abad II Masehi yang dikarang oleh Midrash Rabbah hampir 4 abad sebelum Al-quran.
- Isa Almasih bicara dalam ayunan (Maryam 29-30) persis informasi yang tercatat dalam buku apokripa/dongeng Mesir abad II yang berjudul:”First Gospel of the Infancy of Jesus Christ” (kitab pertama tentang masa kanak-kanak yesus Kristus).
- Mukjizat yang dilakukan Isa Almasih (Ali Imran 49) menghidupkan burung pipit sama dengan buku apokripa/dongeng abad II yang berjudul “Thomas’s Gospel of The Infancy of Jesus Christ” (Buku Thomas tentang masa kanak-kanak Yesus Kristus),
- Kisah kehamilan Maryam dan kelahiran Isa Almasih (Ali Imran 45-47 dan Maryam 19-21) sama dengan cerita alkitab pada Lukas 30-35.
Perlu diketahui bahwa tidak ada seorang muslimpun membantah bahwa periwayatan dalam Al-Qur’an memiliki kesamaan dengan kisah-kisah yang terdapat di dalam khazanah budaya Yahudi, baik yang terdapat di dalam maupun di luar alkitab, sebab pada kenyataannya memang demikianlah adanya. Islam mengakui nabi-nabi terdahulu yang berasal dari kalangan umat Yahudi. Tokohnya itu-itu juga dan tentu saja cerita mereka juga sama.
Pengertian Dongeng, Folklore, dan Cerita Rakyat
Sejak SD kita umumnya telah mendapat pelajaran sastra, yang membahas tentang dongeng (para ahli bidang ini biasanya menyebut istilah Folklore). Masih terekam dalam ingatan bahwa guru SD kita pernah menjelaskan, dongeng terdiri dari beberapa jenis. Ada yang namanya fabel, yaitu dongeng yang ada dalam masyarakat bersumber dari cerita tentang hewan, misalnya sang kancil, burung gagak dan srigala, lalu ada yang namanya legende, yaitu dongeng yang berhubungan dengan tempat-tempat tertentu, misalnya kisah Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Perahu, Situ Bagendit, Loro Jonggrang. Ada juga dongeng berasal dari cerita di sekitar dewa-dewi yang dinamakan mite, misalnya Dewi Sri. Lalu ada dongeng yang dikembangkan dari kisah sejarah yang benar-benar terjadi, yang dinamakan sage, misalnya Joko Tingkir, Ken Arok dan Ken Dedes, Hang Tuah dlsb.
Ciri-ciri dongeng tersebut, terutama dalam dongeng sage adalah mencampur-adukkan antara fakta yang benar-benar terjadi dengan cerita khayalan yang ‘dicantelkan’ dalam kisah sebenarnya. Pada masyarakat yang umur kebudayaannya sudah tua, maka dongeng sage juga bersumber dari kejadian yang sudah tua pula, sebaliknya pada masyarakat yang kebudayaannya masih muda, maka dongeng sage-nya juga berasal dari kejadian yang baru-baru saja terjadi.
Maka dalam masyarakat Jawa, dongeng Ken Arok dan Ken Dedes berasal dari kisah sejarah seribuan tahun yang lalu, sedangkan masyarakat di Amerika Serikat yang umur kebudayaannya masih muda, maka dongeng sage-nya berasal dari beberapa abad yang lalu, ketika mereka baru memulai pembentukan budaya mereka sendiri, sampai sekarang folklore Amerika Serikat menyajikan kepada kita cerita tentang: Jesse James, the Young Gun, Winnetou, yang merupakan kisah nyata namun sudah dibumbui cerita khayalan yang dibuat-buat belakangan.
Namun sebagai fakta sejarah baik Ken Arok maupun Jesse James adalah kisah yang benar-benar ada. Masyarakat Timur Tengah adalah masyarakat yang punya kebudayaan yang paling tua di dunia bahkan mulai dari manusia pertama, mereka berkembang menjadi bangsa-bangsa yang kita kenal sekarang, Yahudi dan Arab, adalah masuk akal kalau kemudian cerita rakyat mereka bersumber dari cerita yang sama. Ketika cerita tersebut masuk kedalam Al-Qur’an, itu juga suatu yang masuk akal, bahkan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, bahwa ajaran Islam sebenarnya merupakan ajaran yang sama yang disampaikan Allah kepada nabi dan rasul terdahulu, mulai dari nabi Adam AS, sampai kemudian kepada nabi dan rasul yang turun di kalangan Yahudi. Adalah tidak mungkin kemudian ajaran Islam menciptakan kisah dan cerita yang lain dan dengan nabi dan rasul yang berbeda, untuk menunjukkan ajarannya yang asli dan ‘lain dari yang lain’.
Ketika suatu kisah nyata disampaikan dalam folklore, maka kemungkinan cerita tersebut sudah bercampur-aduk dengan khayalan yang dibuat-buat belakangan. Dan kalau kisah tersebut masuk ke dalam kitab suci, maka fungsinya juga sudah berbeda, yaitu sebagai pelajaran terhadap ajaran yang disampaikan dalam kitab suci tersebut. Inilah kata al-Qur’an tentang adanya kisah-kisah dalam al-Qur’an :
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mu’jizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang bathil. (QS. Al-Mu’min 78)
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf 111)
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS. Huud 120)
Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (QS. Yusuf 3)
Itu adalah sebahagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah. (QS. Huud 100)
Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (QS. Ali Imran 44)
Jadi memang ada pernyataan Allah bahwa cerita yang dimuat dalam Al-Qur’an itu merupakan kisah yang benar-benar terjadi dari para manusia terdahulu, baik yang lurus maupun yang durhaka, berguna untuk pelajaran bagi umat Islam. Kalau suatu cerita akan dijadikan pelajaran, maka bahasa yang dipakai, rentetan cerita, plot cerita haruslah juga menghasilkan sesuatu yang sejalan dengan ajaran yang diinginkan, apalagi cerita tersebut diakui sebagai Firman Tuhan, pastilah tidak akan muncul kata dan kalimat, maupun jalan cerita yang mengarah, misalnya kepada ‘memancing’ nafsu manusia. Maka bentuk penyajian cerita tersebut menjadi hal yang penting untuk didalami.
Al-Qur’an sendiri berhasil ‘melepaskan diri’ dari penggambaran figuratif ketika mengemukakan detail kejadian sehingga pikiran si pembaca tidak ‘mengembara’ membayangkan suatu bentuk dari pelaku yang ada dalam cerita. Ketika Al-Qur’an menceritakan tentang proses kehamilan Maryam, tentang jawaban malaikat terhadap pertanyaan Maryam bagaimana bisa dia hamil sedangkan selam ini tidak pernah berhubungan (seksual) dengan laki-laki, maka Al-Qur’an memberikan penjelasan:
Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia. (QS. Ali Imran 47)
Atau dalam ayat lainnya:
Jibril berkata: “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”. (QS. Maryam 21)
Silahkan bandingkan bagaimana narasi alkitab ketika menjelaskan jawaban malaikat terhadap pertanyaan ini:
[Lukas 1:35] Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.
Terjadi suatu penjelasan tentang adanya bentuk perbuatan, Roh Kudus yang ‘turun’ dari atas Maria, lalu dilengkapi dengan kata ‘menaungi’. Ketika kita membaca narasi ini, tentu saja pikiran akan otomatis bekerja untuk menggambarkan bagaimana bentuknya sesuatu yang turun dari atas Maria dan menaunginya, lalu mengakibatkan Maria hamil. Bagaimana posisi Maria ketika menerima ‘naungan’ Roh Kudus yang mengambil sikap turun dari atasnya.
Sebaliknya reaksi tersebut tidak akan muncul ketika kita membaca ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang kisah yang sama. Satu-satunya pikiran yang muncul adalah pemahaman tentang kekuasaan dan kehendak Allah, bahwa apa pun yang Dia kehendaki pasti terlaksana, dan ini sudah menjawab pertanyaan Maryam secara tuntas, sesuai fungsi cerita tersebut sebagai pengajaran bagi manusia.
Kita juga menemukan model yang lain seperti penggambaran Al-Qur’an tentang ketampanan nabi Yusuf. Informasi yang masuk dalam pikiran kita bukanlah gambaran figuratif yang menceritakan bentuk muka, tubuh, atau tinggi badan dari nabi Yusuf. Al-Qur’an menjelaskan melalui kalimat yang terucap dari para wanita yang berada disekitar pada saat itu:
"Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (QS. Yusuf 31)
Dengan penyampaian kalimat ini maka faktor relativitas dari suatu ketampanan menjadi hilang. Yusuf tidak digambarkan misalnya berkulit putih karena tidak bakalan laku pada masyarakat berkulit hitam, atau berhindung mancung bermata bulat besar, karena gambaran tersebut bukanlah suatu ketampanan dalam masyarakat berhidung pesek dan bermata sipit. Pernyataan ketampanan ‘seperti malaikat’ memunculkan gambaran yang universal sebagai suatu ukuran ketampanan bagi bangsa manapun.
Jadi memang banyak cerita yang sama dalam Al-Qur’an dengan kisah-kisah yang ada dalam masyarakat Yahudi dan alkitab, namun perbedaan bisa kita lihat bagaimana cara penyampaiannya, untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang wahyu Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, berbeda dengan yang lain.
[Sumber: Pak Arda Chandra | Islam Menjawab Fitnah]
0 Comments