POLIANDRI adalah pernikahan seorang perempuan dengan lebih dari satu orang suami. Dalam Islam, hukum poliandri adalah HARAM berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur`an, adalah firman Allah SWT
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Surat an-Nisaa' [4] ayat 24)
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa seorang laki-laki-laki dilarang menikahi istri orang lain. Ayat inilah yang menjelaskan Surat an-Nisaa' (4) ayat 3, bahwa poliandri dilarang dalam Islam.
“... dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (QS An-Nisaa` [4] : 24)
Ayat di atas yang berbunyi “wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum” menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam [Beirut: Darul Ummah, 2003 hal. 119] : “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga (ahshana) farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) [Al-Umm, Juz V/134].
Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan:
“Wanita-wanita yang bersuami –baik wanita merdeka atau budak— diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya)." [Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184].
Jelaslah bahwa wanita yang bersuami, HARAM dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain, ayat di atas merupakan dalil al-Qur`an atas HARAMNYA poliandri.
Adapun dalil As-Sunnah, adalah sabda Rasulullah SAW
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” [HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123].
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama [Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123]
Berdasarkan dalalatul iqtidha`, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna (dalalah) ini – yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami saja – merupakan makna yang dituntut (iqtidha`) dari manthuq hadits, agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul iqtidha` hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Dengan demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas.
Sebagai tambahan, dalil akal sehat
Umumnya istri tidak rela jika suaminya ingin berpoligami. Poligami dianggap hanyalah bentuk kesewenangan pria terhadap wanita. Perlakuan ini seakan tidak adil, kenapa hanya kaum pria yang boleh menikah lagi, bukankah wanita juga bisa kalau memang ingin, tapi kenapa dilarang bagi kaum wanita?
Memang benar, batasan batasan yang berlaku seakan hanya memihak kaum pria. tapi apa jadinya jika polyandri dibolehkan? Pikiran akan menjadi kata-kata, kata-kata akan menjadi perbuatan.
Salahsatu tujuan menikah adalah untuk memperoleh keturunan. Dapat dibayangkan, satu wanita hidup bercampur dengan lebih dari satu pria. Bisakah kita menentukan siapa sebenar-benarnya ayah biologis dari sang anak yang Insya Allah, kelak akan dilahirkan?
Kalaupun bisa, butuh proses yang ruwet, ribet, njlimet, tapi tetap saja meragukan. Sungguh kasihan si pria. Untuk memperoleh keturunan harus bermain tebak-tebakan selama hidupnya. Kasihan juga sang anak yang selalu ragu akan ayahnya yang sesungguhnya.
Lalu, bagaimana dengan polygami, sulitkah kita menentukan mana ibu dan ayah dari sang anak? Insyaa Allah, tidak sulit. Dan di sinilah letak kebijakan Islam dalam melindungi kehormatan wanita.
Jadi, dalam analogi paling sederhana saja, poligami dapat diibaratkan seolah kita menuangkan air, atau cairan, dari satu teko ke dalam beberapa gelas. Yang terjadi sangat jelas, tiap gelas dapat didefinisikan isinya.
Konsekuensinya, Poliyandri juga harus kita ibaratkan menjadi sebaliknya. Beberapa jenis cairan dari berbagai teko kita tuangkan ke dalam satu gelas saja. Maka akan sangat sulit bagi siapa pun untuk mendefinisikan isinya. Kenapa? Karena walau bagaimanapun juga air atau cairan itu telah bercampur-aduk menjadi satu!
Wallahua’lamu bish shawab.
Mohon maaf bila ada kesalahan dan kekhilafan atau kesalahan ketik
Wabillahi taufiq wal hidayah.
Wa Shubhanaka wabihamdika Asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka watubuu ilaihi
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[Dari ustadz Mahesa Ibnu Romli | Situs Mahesajenar]
0 Comments