TOP

15/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Urgensi Al-wala’ wal baro’ Terhadap Aqidah Seorang Mukmin


Berikut adalah penggalan tulisan yang saya petik dari KIBLAT.NET yang seutuhnya dapat di lihat di sini.

Urgensi Al-wala’ wal baro’ Terhadap Aqidah Seorang Mukmin
Persaudaraan menjadi salah satu karakteristik dalam ajaran Islam. Ketika seseorang mengucapkan syahadat, maka secara otomatis dia telah mengikat persaudaraan dengan mukmin lainnya. Dia tidak boleh mendhalimi saudara mukmin lainnya, tidak boleh mendustainya, menghina, mencela, apalagi membunuh. Selain itu, dia juga punya haq dan kewajiban untuk saling membantu saudara lainnya, membela kehormatannya, menolongnya dari serangan musuh dan sebagainya. Bahkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan persaudaraan tersebut layaknya seperti satu anggota badan, jika salah satu anggota badan sakit maka anggota badan lainnya juga akan ikut merasakan sakit.

Dalam kajian aqidah, prinsip persaudaraan seperti ini disebut dengan al-wala’ wal baro’ artinya cinta terhadap sesuatu atau seseorang hanya karena Allah dan benci terhadap seseorang atau sesuatu juga hanya karena Allah. Juga, atau dalam makna lain adalah menjadikan orang muslim sebagai saudara yang berhak mendapatkan loyalitas dan menganggap orang-orang kafir sebagai musuh yang tidak boleh loyal atau bahkan saling membantu dalam menciptakan makar terhadap Islam.

Para ulama menyimpulkan bahwa prinsip al-wala’ wal baro’ seperti ini menjadi syarat keimanan seseorang. 

Allah ta’ala berfirman:
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadnya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Al-Maidah: 81)

Tentang ayat itu, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah mensyaratkan bagi seorang muslim untuk tidak berwali atau mengambil teman setia dari orang-orang kafir. Kata Law dalam ayat tersebut menandakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin, yaitu tidak boleh mengangkat pemimpin atau penolong-penolong dari orang-orang kafir. Karena antara keimanan dan menjadikan orang kafir sebagai penolong adalah dua prinsip yang berlawanan, dua prinsip itu tidak mungkin bisa berkumpul dalam hati orang mukmin. [lihat: Ibnu Taimiyah, Al-Iman, hal: 14]

Syaikh Hamad bin ‘Atiq mengatakan, “Adapun perihal memusuhi orang-orang kafir dan musyrik, maka ketahuilah sesungguhnya Allah telah mewajibkan hal itu dan menekankan kewajiban ini dan Allah mengharamkan berwali kepada mereka dan menegaskan keharamannya. Sehingga dalam Kitabullah tidak ada hukum yang lebih banyak dalilnya dan lebih gamblang penjelasannya setelah wajibnya tauhid dan haramnya syirik melebihi masalah ini.” [Abdul Azizi bin Muhammad bin Ali Alu Abdul Lathif, Nawaqidhul Iman al Qauliyah wal ‘Amaliayah, hal: 359].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati prinsip al-wala’ wal baro’ dengan ikatan keimanan paling kuat yang dimiliki oleh orang mukmin.

“Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” [Shohih Al-Jami’: 2539]

Demikianlah konsekuensi keimanan seseorang kepada Allah. Persaudaraan menjadi simbol tali keimanan yang melekat pada dirinya. Sehingga ketika ada musuh yang mendhaliminya sementara dia tidak mau menolongnya, maka tentu keimanannya perlu dipertanyakan kembali. Apalagi jika dia ikut-ikutan membantu atau membela musuh ketika mereka menyerang kaum muslimin, tentunya orang yang seperti ini akan mendapatkan ancaman yang cukup tegas dalam syariat Islam.

Hukum Membantu Orang Kafir dalam Memerangi Kaum Muslimin
Besarnya perhatian Islam terhadap persaudaran antara sesama muslim, juga menimbulkan efek hukum yang cukup tegas atas orang-orang yang membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin. Tentunya orang awwam pun bisa memahami bagaimana jika ada seseorang yang senang ketika saudaranya yang seagama didhalimi, apalagi kalau sampai membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin. Tentu hal itu akan sangat berlawanan dengan prinsip keimanan yang diyakininya.

Membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin adalah salah satu tabiat orang munafik. Ia merupakan bagian dari cabang kemunafikan yang selalu muncul untuk meyerang Islam. Allah ta’ala telah menjelaskannya dalam berbagai macam nash Al-Qur’an, diantaranya adalah:

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An-Nisa’ 138-139)

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana…” (QS. Al-Maidah: 52)

Para ulama pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya, penolongnya, atau ikut bergabung dan membantu mereka dalam memerangi ummat Islam maka dia telah murtad, keluar dari agama Islam. [Lihat: Tafsir At-Tabari, 3/140, Majmu’atu Tauhid, Hal: 38, Ad-Duraru Sunniah, 7/ 201, Fatawa Bin Baz, 1/ 272]

Syaikh Sulaiman bin Abdullah, cucunya Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam risalahnya Ad-Dalail Fi Hukmi Muwalati Ahli Isyraak menyebutkan lebih dari dua puluh dalil tentang larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau penolong. Diantara kumpulan dalil-dalil tersebut adalah:

Allah menegaskan bahwa orang yang mengangkat orang kafir sebagai wali maka dia termasuk bagian dari golongan mereka.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Imam Ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini berkata, ”Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sekutu atau membantu mereka dalam melawan kaum muslimin, maka ia adalah orang yang se-idiologi dan seagama dengan mereka. Karena tak ada seorangpun yang menjadikan orang lain sebagai walinya kecuali ia ridha dengan diri orang itu, agamanya, dan kondisinya. Bila ia telah ridha dengan diri dan agama walinya itu, berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga hukum (kedudukannya) seperti hukum walinya.” [Tafsir Ath Thabari 6/160].

Ibnu ‘Atiyah menjelaskan, "maksudnya adalah mencintai dan mengikuti mereka dalam seluruh tujuan yang mereka inginkan.”  [Tafsir Ibnu ‘Atiyah, 8/152]

Al-Baidhawi berkata, “Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai wali (penolong) maka dia termasuk dari golongan mereka." Ayat ini menegaskan tentang wajibnya menjauhi mereka. [Tafsir Al-Baidhawi, 5/ 192]

Kesimpulan hukum tersebut juga ditegaskan oleh para ulama lainnya, misalnya Ibnu Hazm dalam Al Muhala 13/35 , Asy Syaukani dalam Fathul Qadir 2/50, Al Qasimi dalam Mahasinu Ta’wil 6/240.

Allah ta’ala berlepas diri dari mereka yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya.

Allah ta’ala berfirman:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya ia terlepas dari pertolongan Allah ….” (QS. Ali Imran :28).

Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa dia tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah sedikitpun bahkan Allah berlepas diri darinya dalam setiap keadaan. [Fathul Qodir, 1/331]

Dalam sebuah hadits Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan ummatnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa membantu dalam rangka membunuh seorang mukmin dengan separuh kalimat saja, ia akan menghadap Allah, tertulis di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah… (orang yang berputus asa dari rahmat Allah)." [HR. Ibnu Majah]

Membantu orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin merupakan amalan yang dapat membatalkan keimanan.

Allah berfirman:

“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 80-81)

Ketika kota Baghdad ingin digempur oleh pasukan Tartar, sebagian kaum muslimin ada yang ikut bergabung bersama pasukan tersebut. mengomentari hal itu, Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa diantara mereka bergabung ke dalam pasukan Tartar maka dia lebih berhak untuk dibunuh terlebih dahulu daripada pasukan Tartar. Karena dalam pasukan Tartar ada pasukan yang ikut berperang karena terpaksa dan ada juga tidak. Sementara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa hukuman terhadap orang murtad lebih besar daripada orang kafir asli disebabkan beberapa hal.” [Ibnu Taimiyah: Majmu’ Fatawa, 28/534]

Dalam kitab Majmu’atu Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan bahwa pembatal keislaman yang kedelapan adalah membantu dan tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam memusuhi umat Islam, dengan dalil QS. Al Maidah:51. [Lihat: Majmu’atu Tauhid, hal: 38]

Syaikh Abdullah bin Abdul Latif Alu Syaikh berkata, “Saling tolong menolong dengan orang kafir adalah kafir yaitu seperti membantu mereka dengan harta, jiwa dan pikiran.”  [Ad-Duraru Sunniyah: 7/ 201]

Bagaimana Jika yang Diperangi adalah Ahlu Bughat atau Orang Khawarij?

Dalam konteks koalisi yang dipimpin Amerika untuk menggempur IS/ISIS, mungkin sebagian orang akan bertanya, bukankah yang mereka perangi itu orang-orang khawarij yang juga mengancam keamanan ummat Islam lainnya?

Dalam menanggapi masalah ini, jumhur ulama berpendapat bahwa memohon pertolongan kepada orang kafir dalam memerangi ahlul bughat atau khawarij adalah haram. Hanya kalangan ulama Hanafiah saja yang membolehkannya namun dengan syarat yang cukup ketat, yaitu kekuasaan Islam lebih kuat (lebih mendominasi) daripada kekuasaan mereka. Karena pada dasarnya tujuan memerangi khawarij bukan dalam rangka ingin membunuh mereka akan tetapi menahan kekejaman atau memaksa mereka untuk taat kembali. [Lihat: Al-Sarkhasi, Al-Mabshut, 10/135]

Al-Qarafi, salah seorang ulama Malikiah, berkata, “Tidak boleh membunuh tawanan mereka, hartanya juga tidak boleh dijadikan ghanimah, keturunan mereka tidak boleh ditawan dan tidak boleh memohon bantuan kepada orang musyrik dalam memerangi mereka.”  [Al-Qarafi, Al-Dzakhiroh, 12/9]

Imam Nawawi berkata, “Tidak boleh memohon bantuan kepada orang kafir untuk memerangi mereka, karena orang kafir tidak boleh menguasai urusan kaum muslimin, oleh karena itu, bagi orang yang terkena qishas tidak boleh diwakilkan kepada orang kafir, demikian juga tidak boleh bagi imam mengangkat orang kafir sebagai algojo dalam menegakkan hudud atas orang muslim." [An-Nawawi, Raudhatul Thalibin, 10/60]

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Allah sama sekali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk berkuasa (memusnahkan) orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 141)

Memang berbeda ketika berhadapan dengan orang kafir, sebagian ulama membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir jika memang keadaannya dharurat dan menbutuhkan hal itu. Standarnya tetap melihat pertimbangan maslahat dan mudharat dan yang paling penting dalam hal ini adalah mereka menetapkan syarat yaitu kaum muslimin tetap menjadi penguasa yang tertinggi, karena jika kekuasaan kafir lebih mendominasi dalam pasukan tersebut, suatu saat dikhawatirkan mereka akan menguasai urusan kaum muslimin. [lihat: Asyaibani, Syarh As-Sair Al-Kabir, 4/1422, An-Nawawi, Syarh Muslim, 2/198, Ibnu Hajar, Fath Bari, 6/176, As-Syaukani, Nailul Authar, 8/44]

Semua pertimbangan hukum tersebut bermuara kepada kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin, sehingga Syaikh Hamud ‘Uqala As-Syu’aibi menyebutkan beberapa alasan kenapa tidak boleh bagi pemimpin muslim meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang khawarij dalam kondisi apapun. Hal itu karena disebabkan beberapa hal, diantaranya:

Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan pendapat ulama yang melarang memohon bantuan kepada orang kafir dalam rangka memerangi orang kafir lainnya. Jika pendapat ini lebih rajih maka larangan meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang Islam tentu lebih utama.

‘Illah (alasan) bolehnya memerangi ahlul bughat (khawarij) adalah untuk menahan kekejaman mereka dan memaksa mereka untuk taat kepada amir bukan untuk dibunuh. Oleh karena itu dalam hal ini tidak butuh bantuan orang kafir.

Meminta bantuan kepada orang kafir berarti menjadikan mereka sebagai wali dan menandakan kecondongan hatinya kepada mereka.

ولا تركنوا إلى الذين ظلموا فتمسكم النار

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,…” (QS. Hud: 113)
  • Meminta bantuan orang kafir akan memudahkan mereka untuk memecah belah kekuatan muslimin sehingga mereka dapat menguasai urusan kaum muslimin
  • Meminta bantuan kepada orang kafir sama saja memberikan kepada mereka legitimasi untuk intervensi langsung terhadap urusan kaum muslimin dan akan menampakkan kelemahan kaum muslimin serta secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai pemimpin yang akan dijadikan tempat bagi kaum muslimin untuk berhukum (mengambil kebijakan).[6]

Demikianlah ketegasan Islam dalam menyikapi ummatnya yang ikut bergabung bersama orang kafir atau turut membantu mereka dalam memerangi kaum muslimin. Tentu bagi kita yang memahami hukum tersebut dan berkomitmen dengan ajaran Islam, tidak mungkin terbawa-bawa untuk membantu dengan segala bentuk kempanye memerangi saudara kaum muslimin, di belahan dunia mana pun. Memang kita tidak dilarang bermu’amalah dengan orang-orang kafir dan saling membantu dalam hal kemaslahatan kaum muslimin, tapi sangat naif sekali, jika hal itu menyebabkan sebagian orang Islam rela mendukung atau membantu mereka demi menghancurkan saudaranya sendiri. 


Wa’iyadzubillah.

Penulis: Muhammad

Referensi kitab:
  • Tafsir At-Tabari, Ibnu Jarir At-Tabari
  • Tafsir Ibnu ‘Atiyah, Ibnu ‘Atiyah
  • Tafsir Al-Baidhawi, Al-Baidhowi
  • Al Muhala, Ibnu Hazm
  • Fathul Qadir, Asy Syaukani
  • Mahasinu Ta’wil, Al Qasimi
  • Al-Mabshut, Al-Sarkhasi
  • Al-Dzakhiroh, Al-Qarofi
  • Raudhatul Thalibin, An-Nawawi
  • Syarh As-Sair Al-Kabir, As Syaibani
  • Syarh Muslim, An-Nawawi
  • Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqalani
  • Nailul Authar, As-Syaukani
  • Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah
  • Ahkam Alu Dzimmah, Ibnu Qoyyim
  • Kitab Al-Iman, Ibnu Taimiyah
  • Nawaqidhul Iman al Qauliyah wal ‘Amaliayah, Abdul Azizi bin Muhammad bin Ali Alu Abdul Lathif
  • Majmu’atu Tauhid, Muhammad bin Abul Wahab
  • Fatawa Bin Baz, Abdul Aziz bin Baz

Source: KIBLAT.NET 
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments