UMAT ISLAM sangat meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang benar-benar dijaga oleh Allah, karena Dia sendiri mengatakan demikian. Selain keaslian yang terjaga, ada sisi lain yang istemewa dari Al-Qur’an, yakni dijadikannya Al-Qur’an sebagai sumber informasi bagi kehidupan. Informasi tersebut berkaitan dengan sebelum dan sesudah kejadian alam semesta. Meskipun bukan sebagai buku ilmu pengetahuan tetapi Al-Qur’an meliputi hal itu, buku pengetahuan.
Mengapa Al-Qur’an tidak mengambil posisi sebagai buku ilmu pengetahuan?
Menjadi buku pengetahuan berarti mempersempit keistemewaannya sendiri dan malah kemungkinan besar malah bukan kitab yang handal karena fenomena alam semesta yang sampai saat ini belum mencapai titik akhir pengungkapan. Al-Qur’an adalah tanda dan isyarat “sesuatu” tetapi bukan “sesuatu” itu sendiri.
Nilai kesucian Al-Qur’an: TERJAGA KEMURNIANNYA
Hal ini merupakan sesuatu yang langka bagi sebuah kitab suci. Sepanjang perjalanan sejarah mengenai kitab suci, Al-Qur’an merupakan kitab yang tak pernah mengalami amandemen, meskipun ada peristiwa nasikh wa mansukh suatu ayat tetapi bukan itu yang kami maksud. Amandemen di sini adalah campur tangan manusia dalam upaya “gathuk-mathuk” mencocokkan ayat-ayat kitab suci dengan fenomena kehidupan, setelah kitab diturunkan dengan rentang waktu yang lama.
Al-Qur’an bukanlah demikian, sejak ayat terakhir diwahyukan tidak ada lagi amandemen dari Tuhan maupun usaha manusianya untuk mencoba merubah atau memperbaiki ayat yang sekiranya ada ayat yang tidak cocok bagi kehidupan. Yang ada adalah tafsir terhadap ayat-ayat al- mutasyabihat. Tanpa disangka kegiatan ini malah memunculkan berbagai disiplin ilmu dengan berbagai warna pemikiran, tergantung kecerdasan dan sudut yang digunakan para mufasiriin. Hal ini menjadi pembenaran bagi perkataan Al-ghazali: “ilmu masa lalu, ilmu yang ada sekarang ini dan ilmu yang akan datang semuanya ada dalam al-Qur’an.
Pertanyaan selanjutnya, sebetulnya apa yang membuat al-Qur’an itu terjaga kemurnian dan tak lekang oleh zaman? Ibarat sebuah bangunan yang mempunyai time live lebih lama tentu ada bebarapa faktor yang membuatnya demikian tahan lama. Factor tersebut semisal: kepintaran sang perancang, bahan yang digunakan, serta pertimbangan matematis maupun mekanis. Nah kemungkinan juga demikian dengan al-Qur’an. Allah sebagai perancang tentu tak ada yang meragukan keilmuan-Nya bahkan Ia Maha pintar. Sedangkan untuk bahan Al-Qur’an, tak ada yang tahu karena masih terjadi perdebatan di kalangan umat dalam memahami hakikat al-Qur’an itu sendiri: sebagai kalamullah atau makhluk.
Faktor ketiga: MATEMATIS.
Apakah Al-Qur’an juga dibangun dengan perhitungan? Ayat-ayat diletakkan, urutan surat, bahkan jumlah ayat dalam surat juga diperhitungkan oleh Tuhan? Jika ya, apa manfaatnya? Logika sederhana yang bisa kita bangun adalah demikian: sebuah rumah dirancang sedemikian rupa, sesuai dengan zaman, peradaban, keadaan alam sekitar. Nah dari hal yang demikian tentunya perancang akan memperhitungkan sudut-sudut antar penyangga, atap harus dibentuk bagaimana dan dari apa, serta berapa jumlah yang dibutuhkan agar yang disangga tiang tidak begitu berat. Begitu juga dengan hubungan antar tiang satu dengan yang lain ( cagak, blandar maupun soko-soko yang lain) tentu dipasang dengan perhitungan yang matang.
Logika sederhana inilah, menurut saya, yang digunakan penulis ini untuk mengugkapkan keistemewaan al-Qur’an serta menggali ilmu-ilmu yang lain. Dengan menggunakan logika matematika, yakni menggunakan symbol huruf Arab maupun tanda-tanda waqof yang ditransformasikan ke angka-angka, AA. Gustaf, mencoba menggali kebenaran-kebenaran dan menemukan kebenaran yang lain, baik yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan maupun makna ibadah yang terbesit dalam rukunnya.
Setidaknya dari buku ini ada yang istemewa, yang diungkap oleh penulis, keistimewaan tersebut adalah mencoba mempertanyakan kebenaran al-Qur’an yang diturunkan pada 17 Ramadhan. Selama ini ada keyakinan al-Qur’an diturunkan pertama kali oleh Allah adalah 17 Ramadhan, tetapi benarkah demikian al-Qur’an diturunkan bulan Ramadhan memang benar tapi untuk tanggalnya tidak disebutkan secara detail dalam al-Qur’an. Metode al-Qur’an dan menerjemahkan symbol huruf maupun jumlah surat, ayat dn kata al-Qur’an. Metode al-Qur’an (huruf arab “JIBRIL” pun ditransformasikan menjadi nilai angka yang bila dijumlahkan nilainya 70) adalah modal utama untuk menemukan konklusi kebenaran.
Pada surat Muhammad, ayat 26-37 (sebagai ayat-ayat terakhir surat Muhammad) terdapat tanda ruku’, ‘ain. Tanda ruku’ ini di dalamnya ada angka 3, 9, 7 yang mempunyai makna) menurut AA. Gustaf, dengan memperhatikan ungkapan H.M Nur Abdurrahman, bahwa turunnya al-Qur’an adalah malam Ramadhan antara tanggal 20 s/d 30 sangatlah beralasan. Untuk selanjutnya, angka-angka pada tanda ruku’. Angkanya adalah: 3 (‘ain surah), 9 (jumlah ayat dalam satu ‘ain), dan 7 (‘ain juz).
Dalam sirah nabawiyyah dikatakan bahwa terdapat perbedaan tentang bulan turunnya wahyu pertama kali, ada yang mengatakan Rabi’ul awwal (bulan ke-3), Rajab (bulan ke-7) dan bulan Ramadhan (bulan ke-9). Ketiga bulan ini menunjukkan angka-angka yang terdapat pada ‘ainayat ke-28 (surat Muhammad), yaitu 3, 9, dan 7.
Selain itu, kombinasi ketiga angka tersebut menghasilkan sesuatu yang menarik dan perlu dikaji. Pertama, bila angka 9 dijadikan sebagai bulan Hijriyah, maka bulan tersebut ada bulan Ramadhan. Jikan angka 3 X 7 = 21. Bila 21 dijadikan hari maka wahyu pertama turun pada tanggal 21 Ramadhan. Kedua, bila angka 3 + 7 = 10, maka bisa saja al-Qur’an turun pada tanggal 10 Ramadhan. Berdasarkan perhitungan tanggal 21 Ramadhan jatuh pada hari senin. Diriwayatkan dari Abu Qotadhah bahwa Nabi mengatakan bahwa hari Senin merupakan hari kelahiran Beliau dan pada hari itu (senin) wahyu pertama turun.
Uniknya, selama ini kita mengetahui bahwa turunnya al-Qur’an adalah 17 Ramadhan. Menurut perhitungan dengan tahun yang sama seperti tanggal 21 Ramadhan, maka tanggal 17 Ramadhan jatuh pada hari Kamis. Jadi tanggal mana yang benar? W’allahu a’lam.
Kalau kita mencermati, buku ini bukanlah buku yang pertama kali dalam memahami kandungan al-Qur’an secara matematika. Ada buku yang lain, semisal karyanya K.H. Fahmi Basya: Matematika Islam. Hanya saja buku ini lebih mudah dipahami dengan buku-buku yang serumpun, meskipun penulisan buku ini masih terlihat sebagai “gathuk mathuk”. Sehingga kebenaran yang diungkap penulis perlu dikaji lebih lanjut.
[Tulisan Mas Khoirul Anwar - di KOMPASIANA]
0 Comments