TOP

15/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

III. Pribadi Allah


Allah yang berpribadi merupakan pernyataan agung Ilahi, sehingga manusia tidak hanya mengenal Allah dalam bentuk kelembagaan yang biasanya kaku, tetapi mengenalNya secara pribadi. Sebenarnya istilah ‘pribadi’ atau ‘oknum’ atau ‘person’ mengandung arti keadaan orang-perorangan yang dapat dilihat dari seluruh sifat yang merupakan watak orang tersebut. Dengan istilah ‘pribadi’ ini, kita dapat mengenal seseorang lebih baik dan lebih dalam lagi. Jadi, Allah sebagai pribadi adalah Allah yang menyatakan diriNya dalam seluruh sifatNya, sehingga manusia mengenal siapa Dia.
1. Lembaga ke-Allahan dan Pribadi Allah.
Istilah ‘Allah’ adalah istilah umum diseluruh dunia, walaupun dalam bentuk kata yang berbeda: EL (Ibrani); THEOS (Grika); DEUS (Latin); GOD (Inggris); ALLAH; DEWA; (di Minahasa dikenal dengan istilah ‘OPO’), dan lain-lain. Istilah Allah sebenarnya menunjuk pada suatu pengertian tentang ‘lembaga’, yang mempunyai otoritas mutlak atas seluruh alam semesta, dan kepadanya manusia menyembah. Bila dalam agama-agama polytheisme, lembaga ke-Allahan itu memiliki begitu banyak allah. Allah-allah ini masing-masing dengan sifat dan perannya sendiri-sendiri. Ada allah yang khusus mengurus kematian – dewa maut. Ada allah yang khusus mengurus hujan – dewa hujan, dan sederetan tugas serta sifat ataupun peran. Tetapi Allah-nya Alkitab adalah suatu pribadi (Maha Pribadi) Yang Esa. Maha Pribadi itu memiliki seluruh sifat Ilahi yang ada. Jadi dalam lembaga ke-Allahan itu berdiam pribadi Yang Esa dengan seluruh sifat Ilahi.
Lembaga manusia dapat terpisah dari pribadi manusia itu pada saat ia mati. Tetapi lembaga ke-Allahan menurut Alkitab itu tidak dapat dipisahkan dari Pribadi Allah, karena Allah itu hidup, dalam arti hidup kekal.
2. Allah itu berpribadi.
Menarik sekaligus rumit, bila kita menyimak berbagai pandangan yang berkembang sejak Gereja mula-mula tentang pribadi Allah. Pribadi atau oknum atau Hypotasis (Grika) atau Persona (Latin). Bagaimana bentuknya berbagai nuansa pandangan mereka itu tidak akan dibicarakan dalam bagian ini. Tetapi yang terutama dibuktikan dulu dari Alkitab yakni bahwa Allah itu berpribadi. Bukti-bukti Allah berpribadi yakni antara lain:
2.1 Sebagai Pribadi; Allah memperkenalkan NamaNya.
Ada bagian tersendiri membicarakan Nama Allah secara luas dan mendalam. Allah Alkitab memperkenalkan NamaNya, Keluaran 3:14; 6:1-2. Nama itu jelas menunjuk pada pribadi.
2.2 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan pikiranNya, Mazmur 139:17; Yesaya 40:13; 50:9; Zakharia 1:6; 8:14-15; Kisah Para Rasul 15:18; 1 Korintus 2:11, 16.
Hasil berpikir adalah maksud, niat atau rencana. Jelas, Alkitab berisi pikiran dalam bentuk rencana agung Allah untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia. Hanya orang-orang rohanilah yang memahami rencana Allah itu.
2.3 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan emosi atau perasaanNya.
Bentuk-bentuk perasaan itu amat, seperti: Kejadian 6:6, menyesal; Keluaran 20:5; Ulangan 6:15, cemburu; Ulangan 1:37; 4:21; 9:8; 2 Raja-raja 17:18, murka; Mazmur 45:8; Ibrani 1:9, mencintai atau membenci, dan lain-lain.
2.4 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan kehendak atau keinginanNya.
Kehendak atau keinginan Allah itu begitu jelas dalam Alkitab Yosua 3:10, Allah sungguh-sungguh menepati janji-Nya. Mazmur 115:3, Allah melakukan apa kehendakNya. 2 Petrus 3:9, Allah tidak suka seorangpun binasa.
3. Keadaan dasar (nature) pribadi Allah.
Keadaan dasar manusia itu antara lain: lemah, tidak sempurna dan seterusnya. Alkitab menyimpulkan bahwa keadaan dasar manusia adalah ‘daging’. Dengan demikian kita mengenal siapa manusia itu. Demikian juga dengan Allah jelas dari uraian diatas bahwa Allah itu berpribadi, tetapi pribadi itu amat luar biasa bila keadaan dasar (nature) dan sifat-sifat (attributes)Nya dapat dipelajari. Tidak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan keadaan pribadi itu selain menegaskan bahwa pribadi itu sungguh-sungguh melampaui kesanggupan daya analisa manusia, sehingga hanya cocok disebut dengan ‘Maha Pribadi’. Dengan tepat Paulus mulai memberi gambaran kepada orang-orang kafir, bahwa: “. . . kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan Ilahi sama seperti emas atau perak atau batu ciptaan kesenian dan keahlian manusia”, Kisah Para Rasul 17:29.
Alkitab menggambarkan keadaan dasar Allah sebagai berikut :
3.1 Allah itu adalah Roh adanya, Yohanes 4:19-24.
Alkitab mengajarkan bahwa substansi manusia adalah rohnya, yakni ‘nafas hidup – neshamah’ yang datang dari Allah, Kejadian 2:7; Yohanes 6:63; Yakobus 2:26. Alkitab juga mengajarkan bahwa ada mahluk-mahluk roh yang diciptakan surga dan dunia roh, Kolose 1:16; Ibrani 1:7; Mazmur 104:4. Tetapi semua itu adalah roh-roh (mahluk roh) ciptaan. Allah adalah Roh; Ialah ‘ADA’ yang mencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Dengan kata lain, Allah itu adalah Roh yang mencipta segala sesuatu, termasuk roh-roh ciptaan itu. Tentunya Roh Allah itu berbeda dengan roh-roh ciptaan lainnya.
Itulah sebabnya Westminster Cathecism mendefinisikan Allah sebagai berikut: “Suatu Roh, tak terbatas, keadaan yang tak dapat berubah, hikmat, kuasa, kesucian, keadilan, kebaikan dan kebenaran”.
Perlulah diberi gambaran umum dari wujud Roh itu. Sehingga dengan menyebut ‘Allah itu Roh adanya’, dapatlah digambarkan idea rohani tentang Roh itu. Gambaran umum dari ujud Roh itu yakni:
a. Roh itu tidak dapat dilihat manusia. Roh memang tidak terlihat oleh manusia biasa, tetapi bukan tidak mungkin terlihat. Malaikat-malaikat dapat sewaktu-waktu terlihat, roh-roh jahat pun demikian, Wahyu 13:1; 11:1; 17:8. Tetapi Allah yang adalah Roh adanya tidak dapat dilihat oleh seorang manusiapun, kecuali Yesus Kristus Putra-Nya yang tunggal itu, Ulangan 4:12; Yohanes 1:18; 6:46.
b. Roh itu tidak kelihatan karena tidak terhampiri. Roh-roh lain dalam dimensi alam roh itu dapat terlihat. Tetapi Allah bukan sekedar ‘mahluk’ rohani yang tak terlihat oleh mata jasmani, Yohanes 3:6-8, melainkan tak terlihat karena tak terhampiri. 1 Timotius 6:16 (lihat penjelasan lebih lanjut dalam: Allah itu Api…).
c. Roh itu ada dimana-mana – Maha Ada. Melebihi konsep manusia tentang ruang, Kejadian 1:2; Mazmur 139:7cf; Wahyu 1:4.
d. Roh itu tahu segala sesuatu – Maha Tahu. Karena Ia ADA, maka Ia pasti tahu segala sesuatu, 1 Korintus 2:10-11.
e. Roh itu Maha Benar. Ialah Roh Kebenaran itu, 1 Yohanes 5:9.
f. Roh itu supra dinamika, Zakaria 4:6; Kisah Para Rasul 1:8; Ayub 42:2.
Selain mencipta, Allah yang Roh adanya menembusi alam rohani dan alam jasmani; mengatur harmoni alam rohani oleh hukum rohani dan harmoni alam jasmani oleh hukum alam; mengatur harmoni antara alam rohani dan alam jasmani.
g. Roh itu sumber kehidupan, Kejadian 2:7; Ayub 34:14-15; Roma 8:10-11.
3.2 Allah itu sempurna, Ulangan 32:4; 2 Samuel 22:31; Mazmur 18:31; 19:8; Matius 5:48.
Suatu ungkapan prinsipil tentang pribadi Allah adalah kata ‘sempurna’. Ketika Lucifer diciptakan, dikatakan: “Gambar dari kesempurnaan engkau, . . .” Yehezkiel 28:12. Bahkan ditambahkan: “engkau tak bercela ditengah kelakuanmu”, Yehezkiel 28:15. Tetapi kata sempurna itu menjadi nisbi. Juga oleh nilai yang ada diantara manusia sejak ia diciptakan, maka kata sempurna itupun menjadi nisbi. Jadi kata ‘sempurna’ yang dipakai untuk malaikat dan manusia itu menjadi nisbi dan tidak dapat dipakai untuk memberi gambaran kesempurnaan pribadi Allah itu (simak baik-baik rangkaian kata dari ayat -ayat referensi diatas tadi).
Hampir tidak ada kata yang cocok untuk menerangkan keadaan dasar kesempurnaan pribadi Allah itu. Ada satu frasa yang dapat dipakai, yakni: “Maha sempurna”. Kata ‘Maha sempurna’ itu hanya dapat digambarkan orang bila ia dapat membuat gambaran dari gabungan sifat-sifat moral Allah. Kesempurnaan Allah ini sedemikian rupa sehingga tidak ada kesempatan atau celah bagi seorang theolog untuk mencari alasan bahwa dosa itu berasal dari Allah.
3.3 Allah itu Api Yang Menghanguskan – Terang – Tak terhampiri.
Salah satu keadaan dasar pribadi Allah yakni: ‘Allah itu tak terhampiri’, 1 Tesalonika 6:16. Sebenarnya ‘tak terhampiri itu’ karena Allah bersemayam dalam terang. Jadi Allah itu adalah ‘terang yang tak terhampiri’. Sedangkan terang itu datang dari sumbernya, yaitu api. Makin besar api itu, makin tak terhampiri ia, karena sifatnya yang menghanguskan, Daniel 3:23. ‘Api’ itu menunjuk pada ‘kekudusan’ Allah, karena kekudusan Allah itu mutlak, maka Ia itu bagaikan ‘api yang menghanguskan’, Ibrani 12:29; Keluaran 24:17; 33:20cf; Yesaya 10:17. Api itu menghasilkan terang – Allah itu disebut ‘Bapa segala terang’, Yakobus 1:17. Dimana ada terang disana tak ada kegelapan dan segala sesuatu menjadi kelihatan. Tetapi justru sumber terang itulah yang menyilaukan. Sedemikian terangnya atau menyilaukannya Allah itu sehingga ‘tak kelihatan’ oleh mata manusia.
Kekudusan Allah itu membinasakan manusia berdosa, Keluaran 3:2-5; 33:20; 1 Samuel 6:19-20; 2 Samuel 6:6-7; Yesaya 6:3-5. Tepatlah ungkapan itu bahwa Allah itu ‘Api yang menghanguskan, Terang yang tak terhampiri’
4. Sifat-sifat (attributes) Allah.
Sifat itu berarti: peri keadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu; atau dasar watak; tabiat. Jelas sekali, sebagai pribadi manusia itu mempunyai sifat-sifat, yakni peri keadaan yang menurut kodratnya ada pada manusia. Demikian pula Allah. Untuk mengenal pribadi Allah, perlu bagi orang percaya mengenai sifat-sifat Allah.
Karena banyaknya sifat-sifat Allah, maka sepanjang zaman pergumulan theologia, para theolog pada umumnya membagi sifat-sifat Allah itu dalam dua bagian besar. Tetapi pembagian kedalam dua bagian besar itupun berbeda-beda menurut sudut pandang masing-masing penafsir. Lihat dibawah ini diberi gambaran perbedaan sudut pandang tersebut :
Atribut natural dan atribut moral. Atribut natural itu bersifat ada pada diri sendiri (self existence), seperti ketidak-terbatasan, kesederhanaan, dan seterusnya. Atribut moral itu erat kaitannya dengan kehendak Allah, seperti kebaikan, belas kasih, keadilan dan seterusnya.
Atribut absolut dan atribut relatif. Atribut absolut dimiliki oleh esensi ke-Allahan yang mutlak. Sedangkan atribut relatif dimiliki oleh esensi ke-Tuhanan yang dalam hubungannya dengan manusia ciptaanNya.
Atribut yang incommunicable dan atribut yang communicable. Atribut yang incommunicable adalah atribut yang tidak ada pada mahluk ciptaan. Sedangkan atribut yang communicable adalah atribut yang ada pada mahluk ciptaanNya. Masih ada lagi pembagian dalam nuansa yang berbeda. Tetapi yang tiga tadi sudah cukup memberi gambaran bagaimana usaha para penafsir Alkitab untuk memahami sifat-sifat Allah.
Dalam theologia sistimatika GPdI yang asli, yang dikenal dengan istilah ‘Pelajaran Alasan’, sifat-sifat Allah itu tidak dibagi secara kelompok seperti diatas. Sifat-sifat Allah itu dideskripsikan satu demi satu secara singkat satu demi satu sesuai pokoknya, lalu diberi ayat-ayat referensi. Tetapi justru setelah sifat-sifat itu diuraikan, nampaklah bahwa sifat-sifat Allah itu erat kaitannya dengan keselamatan manusia. Dari sifat-sifat (atribut) Allah itu, nampaklah rencana, methode dan maksud dari usaha Allah menyelamatkan manusia. Jadi, penguraian sifat-sifat Allah itu mengikuti pola yang ada dalam ‘Pelajaran Alasan’ tersebut. Sifat-sifat Allah itu yakni:
4.1 Allah itu kekal.
Pengertian kekal disini erat kaitannya dengan waktu. Sedangkan pemahaman waktu pada manusia itu ada karena dosa. Oleh dosalah maka manusia menjadi fana. Oleh dosalah maka manusia mengenal masa lalu dan masa yang akan datang. Memang sebelum ada dosa di bumi ini, Alkitab telah memakai istilah-istilah waktu ‘hari pertama’, Kejadian 1:3-5; ‘hari kedua’, Kejadian 1:6-8; dan seterusnya. Tetapi istilah waktu itu sebenarnya hanya menunjuk pada pentahapan penciptaan Allah. Sebab sebelum pentahapan penciptaan itu , Kejadian 1:1-2 Allah memang sudah melakukan penciptaan itu. Itulah kekekalan masa lalu itu (The eternal past).
Allah itu kekal. Allah itu sudah ada sebelum kekekalan masa lalu itu. Allah sudah ada sebelum adanya konsep tentang waktu, Kejadian 1:1; Yohanes 1:1; Mazmur 93:2.
Masih ada satu aspek waktu, yakni masa yang akan datang. Ukuran waktu inipun dilihat dari sudut pandang kefanaan manusia akibat dosa. Karena manusia tidak dapat mengukur waktu yang akan datang itu, maka ia disebut ‘kekal’. Jadi waktu kekal yang akan datang itu disebut ‘kekekalan masa yang akan datang’ – ‘eternal future’; atau ‘everlasting’ – tak berkesudahan.
Allah itu kekal, masa lalu maupun masa yang akan datang, Kejadian 21:33; Ulangan 33:27; Mazmur 9:8; 29:10; 45:7; 90:2; Yesaya 40:8; Yeremia 10:10; Roma 16:26; 1 Timotius 1:7; 6:16; 1 Petrus 5:10; Yesaya 44:6; 48:12; Wahyu 1:17; 10:6; 15:7; 22:13. Kekekalan masa lalu itu milik Allah. Tetapi kekekalan masa yang akan datang, dalam bentuk hidup yang kekal itu diwariskan kepada orang-orang percaya yang takut dan setia kepadaNya, Matius 19:29; Lukas 18:30; Yohanes 3:16. Tetapi orang yang tidak percaya kepadaNya akan dihukum dengan hukuman yang kekal, Daniel 12:2; Matius 18:8; 25:41, 46.
4.2 Allah itu tidak berubah.
Selain kekal, Allah itu tidak berubah. Ada sebuah ungkapan tentang Allah, yakni; Allah itu ‘Gunung Batu’, Mazmur 18:3; 31:4; 40:3; 42:10; 71:3; 78:16, dengan berbagai tambahan, misalnya: Tempat Berlindung, Perisai; Tanduk Keselamatan; Kota Bentengku! Maksudnya, sebagaimana Gunung Batu itu tidak berubah oleh perubahan cuaca dan pengaruh eksternal lainnya, sehingga dapat diandalkan, analogi berjenjang itu ditujukan kepada Allah yang tidak dapat diubah oleh apapun juga, Maleakhi 3:6; Ibrani 13:8; Yakobus 1:17.
Catatan sebagai bahan study Alkitab; Sebenarnya kata ‘Gunung Batu’ itu ditulis dengan kata ‘sela’ (Ibrani), yang sama dengan kata ‘petra’ (Grika) – ‘rock’ (Inggris) – batu (dalam arti batu yang besar sekali). Ada juga kata Grika lainnya yang berarti batu, yakni ‘lithos’, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘stone’. Kata ‘petra’ itu sendiri berarti batu yang besar sekali, sedangkan ‘lithos’ adalah batu yang kecil, yang lebih besar dari kerikil.
Karena perbendaharaan kata bahasa Indonesia yang agak miskin, maka kata ‘sela’ dan ‘petra’ ini diterjemahkan dengan kata ‘gunung batu’, Mazmur 18:3 atau ‘bukit batu’ Matius 27:60; Markus 15:46. Sayang sekali, terjemahan seperti ini bukanlah terjemahan literal, melainkan terjemahan yang sudah berisi penafsiran. Hal itu berdampak pada bagian lain dari terjemahan kata ‘petra’ ini yang diterjemahkan dengan kata ‘batu karang’, Matius 16:18; 1 Korintus 10:4, sehingga nampak sekali keganjilannya. Kalau dalam kitab Mazmur , Allah digambarkan sebagai ‘Gunung Batu’, maka dalam 1 Korintus 10:4, Yesus digambarkan sebagai ‘Batu Karang’.
Ternyata bahwa dari keterangan para ahli bahasa, bahwa penerjemahan kata ‘petra’ menjadi ‘batu karang’ – ‘cliff’ (Inggris), diambil dari latar belakang Yunani sekular yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan Alkitab. Banyak bagian dalam Alkitab yang diterjemahkan seperti ini, yakni dalam Alkitab terjemahan baru. Akibatnya, sering terjadi banyak salah penafsiran terhadap Alkitab itu sendiri. Seterusnya, terjadi banyak kesesatan. Hal ini merupakan peringatan kepada mereka yang ingin belajar Alkitab !
Pembuktian bahwa Allah itu tidak berubah, bukanlah pada penampakannya (Theopany). Yesuspun demikian walaupun Ia disebut tidak berubah, Ibrani 13:8, yang dalam penampakan-penampakanNya (Khristophani) sering berubah. Ketidak-berubahan Allah itu sangat sulit dipahami bila membicarakan sifat-sifat Allah yang mutlak itu. Nampaknya untuk memudahkan pemahaman, maka ketidak-berubahan Allah itu dilihat secara berjenjang: Ketidak-berubahan hukum Allah, Mazmur 93:5.
Hukum Allah itu tidak berubah. Sebab bila hukum Allah itu berubah, maka hukum itu tidak dapat menjadi patokan hidup. Bukti-bukti bahwa hukum Allah itu tidak berubah, yakni: dalam pertobatan orang Niniwe (kitab Yunus). Walaupun Allah sudah menentukan pembinasaan terhadap kota itu, tetapi ketika raja dan penduduknya bertobat, Allahpun mengampuni mereka, Yunus 3:10; 4:2. Hukum keselamatan itu tidak berubah: ‘Pendosa yang menjadi percaya dan bertobat itu diampuni’, Yehezkiel 18:3; 21-23; Markus 16:16; Kisah 2:37-38. Isteri Lot yang menjadi tiang garam, Kejadian 19:26; Lukas 17:32. Inipun merupakan bukti ketidak berubahan hukum keselamatan Allah, yakni ‘Orang benar yang berpaling dari Allah, kehilangan keselamatannya’, Yehezkiel 18:24, 26; Ibrani 6:3-6; 10:26-31. Hukum keselamatan Allah itu tidak berubah dan berpusat kepada Kristus, Ibrani 9:22; Yohanes 14:6; Matius 26:27-28.
Ketidak berubahan Firman Allah, Yesaya 40:6-8; Matius 5:18; 24:35; Lukas 21:33; 1 Petrus 1:24-25. Firman Allah itu dikatakan sebagai ‘kebenaran’ – aletheia (Grika), Yohanes 17:17. Artinya bahwa Firman Alah itu tidak berubah, permanen, tetap, kekal, sehingga dapat dijadikan ukuran. Itulah sebabnya ada hukuman bagi mereka yang menambah-kurang Firman Allah, Ulangan 4:2; 12:32; Amsal 30:6; Matius 5:19; Wahyu 22:18-19.
Ketidak-berubahan Yesus Kristus, Ibrani 13:8. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, Yohanes 1:1, 14. Yesus Kristus yang dimaksud ini adalah Ia yang dalam lembaga ke-Allahan. Ia yang memang tidak berubah, Ialah ADA kekal yang tidak berubah itu. FirmanNya menyaksikan hal itu.
Makna utama ketidak-berubahan Allah itu, yakni: kepada manusia diberi suatu jaminan, bahwa Allah itu dapat dipercaya, menjadi sumber pengharapan, Mazmur 102:26-29.
4.3 Allah itu Maha Kuasa – Omnipotent.
Pemahaman ke-Maha Kuasaan Allah itu datang dari kata ELOHIM – Allah itu sendiri. Di dalam ke-Maha Kuasaan itu terkandung ‘kedaulatan mutlak’. Tidak ada yang lebih berkuasa lagi selain Dia. Alkitab memberi kesaksian penting tentang hal ini: Kejadian 1:1; 14:19; Keluaran 18:11; Ulangan 10:14, 17; 1 Tawarikh 29:11-12; 2 Tawarikh 20:6; Nehemiah 9:6; Ayub 38; 42:2; Mazmur 22:28; 47:2-3,7-8; 50:10-12; 95:3-5; 115:3; 135:5-6; 145:11-13; Yeremia 27:5; 32:17; Matius 28:18; Lukas 1:53; Kisah 17:24-26; Kolose 1 :16-17; Wahyu 1:8; 4:8; 11:17; 19:6; 21:22.
Didalam melaksanakan ke-Maha KuasaanNya, terkandung pikiran, perasaan dan keinginan pribadi Allah yang mutlak. Tetapi ke-Maha Kuasaan Allah itu tidaklah bersifat sewenang-wenang atau diktator. Hal itu terjadi karena sifat ke-Maha Kuasaan Allah itu tidak bertentangan dengan sifat-sifat Allah yang lain, 2 Timotius 2:13. Sifat-sifat Allah itu sinkron satu dengan yang lain, seperti: kasih, kekudusan, kebenaran, keadilan, kesetiaan Allah itu sendiri.
Ada tiga bagian besar yang diperbuat Allah dalam ke-Maha KuasaanNya (lihat bab V), yakni: Allah mencipta segala sesuatu; Allah memberi hukum; Allah menentukan dan mengatur takdir manusia.
Dalam mencipta segala sesuatu, nampak jelas ke-Maha KuasaanNya, sehingga Ia disebut ‘Khalik’. Allah mencipta dunia rohani, sekaligus dengan mahluk-mahluk roh. Allah juga mencipta dunia jasmani (universe) dan mahluk-mahluk jasmani. Ada tumbuh-tumbuhan, ada binatang atau hewan, ada manusia. Ternyata dosa itu bukan ciptaan Allah. Dosa adalah suatu kondisi yang merupakan akibat perbuatan malaikat dan manusia melawan hukum Allah.
Selain mencipta segala sesuatu, dalam ke-Maha KuasaanNya itu, Allah memberikan hukum-hukumNya. Maksud pemberian hukum itu ialah supaya keserba-aneka-ciptaan itu tidak menjadi kacau balau. Allah memberikan hukum rohani dan mahluk-mahluk rohani. Allah juga memberi hukum alam untuk dunia dan mahluk-mahluk alami. Seringkali untuk membuktikan adanya Allah Yang Maha Kuasa, Allah mengizinkan terjadi mujizat. Mujizat artinya perbuatan atau kejadian yang melangkahi hukum alam. Sedangkan khusus bagi manusia, Allah dalam ke-Maha KuasaanNya memberi hukum untuk manusia, supaya ada pertangung-jawaban dari manusia (human responsibility) itu.
Bagi manusia, Allah memberi beberapa hukum, yakni:
Pertama, hukum untuk Adam di Taman Eden. Maksudnya, supaya manusia menghargai Allah dalam keterbatasannya dan tidak berbuat dosa, karena adanya kehendak bebas (free will). Kedua, hukum suara hati – conscience law. Dengan suara hati, manusia memahami ukuran baik buruk atau etika. Maksudnya, supaya manusia bersikap baik, adil dan tidak sewenang-wenang. Ketiga, hukum keselamatan. Hukum ini tidak dilaksanakan Allah secara langsung, melainkan secara tidak langsung yakni dengan perantara (korban darah) yang menunjuk kepada Yesus Kristus.
Bagian ke-Maha Kuasaan Allah yang lain adalah Allah menentukan dan mengatur takdir manusia. Manusia memang hidup dalam takdirnya dan takdir manusia itu ditentukan oleh ke-Maha Kuasaan Allah yang berdaulat penuh. Beberapa hal yang menjadi takdir manusia, yakni: takdir menjadi pria atau wanita; takdir menjadi anggota keluarga dari ayah dan ibu; takdir menjadi anggota suku atau bangsa (ras); takdir lahir di suatu tempat. Takdir-takdir ini adalah ketentuan Allah secara langsung bagi umat manusia, dalam hal ini manusia tidak dapat memilih. Manusia harus menerima apa adanya. Manusia tidak berdosa karena menjadi laki-laki atau perempuan, tidak berdosa karena menjadi bangsa A atau B, tidak berdosa karena berkulit hitam atau putih dan seterusnya. Dihadapan Allah, semua manusia itu sama.
Ada satu takdir yang tidak dikerjakan secara langsung oleh Allah, yakni takdir keselamatan manusia. Takdir keselamatan menjadi satu dengan hukum keselamatan; takdir keselamatan diatur dalam hukum keselamatan, kedua hal itu hanya lewat Yesus Kristus sebagai Juruselamat manusia. Takdir dan hukum keselamatan itu menihilkan fatalisme (fatum=nasib – Latin). Bila hukum dan takdir keselamatan bagi manusia dikerjakan oleh ke-maha kuasaan ditambah ke-maha tahuan Allah secara langsung kepada manusia, maka itulah fatalisme, Calvinisme itu fatalisme. Bila keselamatan kekal atau kebinasaan kekal manusia ditentukan oleh ke-maha kuasaan dan ke-maha tahuan Allah, maka sifat Allah yang satu ini berubah menjadi ‘ke-maha sewenang-wenangan’, karena tidak dilatar belakangi oleh sifat-sifat moral Allah yang lain.
4.4 Allah itu Maha Ada – Omnipresent.
Pemahaman ini menunjuk kepada Allah yang hadir di semua tempat pada waktu atau saat yang bersamaan – maha hadir. Setan itu tidak maha hadir, tidak maha kuasa, tidak maha tahu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Allah itu omnipresent tetapi tidak omnibody, artinya yakni Allah hanya hadir di satu tempat, tetapi hadiratNya secara rohani ada dan dapat terasa dimana-mana. Tetapi nampaknya pandangan itu kurang tepat, sebab pemahaman omnipresent itu sebenarnya menunjuk pada kehadiranNya secara pribadi dimanapun dalam waktu yang sama. KehadiranNya secara pribadi itu disebabkan karena : Allah itu Roh adanya; Ia tak terbatas; Ia adalah ADA yang Ilahi itu; Ia Maha Besar. Beberapa ayat penting tentang ke-maha hadiran Allah itu ialah: Ulangan 4:39; 1 Raja-raja 8:27; Mazmur 139:7-10; Amsal 15:3; Yesaya 66:1; Yeremia 23:23-24; Matius 18:20; Matius 28:20; Kisah Para Rasul 17:24-28.
Dalam pergumulan theologis dari abad ke abad dipertanyakan, apakah Allah juga ada di neraka? Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu diingat bahwa Allah itu Immanuel yang selalu bersama-sama orang yang takut kepadaNya. Tetapi Roh Allah akan meninggalkan orang yang sengaja melawan Firman Allah dan hidup dalam dosa. Hakim-hakim 16:20; 1 Samuel 16:14; Mazmur 51:13. Walaupun demikian, Yesus pernah turun ke Hades – alam maut, tempat penampungan jiwa-jiwa orang yang mati di luar Tuhan. Turunnya Yesus ke Hades itu adalah untuk mengalahkan maut dan alam maut dan Yesus Kristus menjadi sulung kebangkitan itu.
Sedangkan neraka – gehenna, adalah tempat penghukuman kekal bagi orang-orang yang tidak percaya dan malaikat-malaikat yang berdosa. Mereka mengalami kematian kekal – eternal death, yakni terpisahnya roh manusia dari Roh Allah selama-lamanya. Karena neraka adalah tempat penghukuman dengan pemisahan hadirat Allah selama-lamanya, maka memang Allah tidak menghadirkan pribadiNya di tempat itu. Itulah penghukuman bagi semua mahluk, baik malaikat maupun manusia, yang berdosa melawan Allah. Ingat, Allah itu sumber kehidupan; jadi jelas bahwa neraka adalah tempat penghukuman bagi mahluk yang mati kekal.
4.5 Allah itu Maha Tahu – Omniscient.
Pokok ini adalah salah satu bagian yang paling menarik untuk dipelajari, sebab amat erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang termulia di bumi. Manusia memiliki akal budi yang dengannya ia mengetahui sesuatu. Manusia menjadi tahu karena pengamatan, pengalaman dan informasi dari pihak lain, Matius 13:11; Markus 13:28-29; Yohanes 7:26; 10:38; 13:12; 2 Korintus 8:9; Ibrani 10:34; 1 Yohanes 2:5; 4:2. Tetapi pengetahuan manusia itu makin bertambah, Daniel 12:4, sehingga manusia sering tergoda untuk ingin menembus keterbatasan pengetahuannya itu ke ‘alam maha tahu’.
Sebenarnya manusia itu tidak tahu persis apa yang bakal terjadi, Matius 24:36cf; Yohanes 13:9-12; 1 Korintus 13:9, 12; 1 Yohanes 3:2, sebab pengetahuan manusia itu terbatas. Manusia hanya mampu menilai zaman atau dengan kata lain memprediksi atau memperkirakan, Lukas 12:54-56. Tetapi justru pengetahuan tentang masa depan itu merupakan satu bagian dari ke-maha tahuan Allah yang sangat ingin dipahami oleh manusia. Banyak sekali manusia yang akhirnya tergoda mencari tahu nasib masa depan mereka kepada roh-roh peramal, Imamat 19:31; Ulangan 18:11-12, 14, 20; 1 Samuel 28; Kisah 16:16.
Ke-maha tahuan (omniscience) nya Allah itu didasarkan pada pengetahuan Allah yang mutlak, pengetahuan Ilahi, Matius 6:8, 32; Yohanes 6:6, 64; 8:14; 11:42; 13:11; 18:4; 2 Korintus 11:31; 2 Petrus 2:9. Ia Maha Tahu karena Ia Maha Ada. Alkitab mencatat bahwa Ia Maha Tahu, Ayub 37:16; Mazmur 139:17-18; Roma 11:33-35; Ibrani 4:13; 1 Yohanes 3:20. Pengetahuan Allah yang sempurna itu terdiri dari beberapa aspek :
Allah mengetahui segala sesuatu di masa lalu.
Allah mengetahui hal-hal yang tersembunyi, Mazmur 139:1-5, 16. Allah mengetahui rahasia-rahasia alam, Ayub 38-39. Allah mengetahui pikiran dan isi hati manusia, 1 Samuel 16:7; 1 Tawarikh 28:9; Mazmur 7:10; 17:3; 44:22; 94:11; 139:23; Amsal 17:3; Yeremia 11:20; 17:9-10; Lukas 16:15; Yohanes 2:25; Roma 8:27; Wahyu 2:23. Allah mengetahui masa depan. Dalam bagian ini adalah dua hal penting, yakni : ‘Mengetahui lebih dahulu’, Kisah 2:23; 15:18; Roma 8:29; Efesus 2:7; 3:10-11; 1 Petrus 1:2, 20; dan ‘menetapkan lebih dahulu – predestinasi’, Kisah 4:28; Roma 8:29-30, 1 Korintus 2:7; Efesus 1:5, 11.
Bagian yang paling terakhir ini, atau bagian dimana Allah mampu mengetahui dan menetapkan sesuatu pada masa yang akan datang, merupakan salah satu bagian yang amat ramai diperbincangkan dalam dunia theologia. Secara lebih khusus yakni: keselamatan manusia pada masa yang akan datang. Justru hal itu sering menjadi kontroversi bila tidak dilihat dari sudut pandang yang tepat dan benar. Alkitab memberi kesaksian bahwa, dalam menentukan keselamatan manusia dimasa yang akan datang, Allah memberi hukum dan takdir keselamatan bagi manusia. Hukum dan takdir keselamatan manusia ada di dalam Yesus Kristus.
Semua konteks ayat yang bicara tentang predestinasi itu intinya adalah Yesus Kristus. Kisah 4:27-28; inti predestinasi adalah ‘di dalam Yesus Kristus’. Roma 8:28-30; inti predestinasi itu adalah ‘Yesus Kristus’. 1 Korintus 2:6-8; inti predestinasi itu adalah ‘Yesus yang disalibkan’. Efesus 1:3-14, yang di dalamnya ada ayat 5 dan 11, tercatat 4 kali ‘di dalam Yesus Kristus’; 6 kali ‘di dalam Dia’; 1 kali ‘di dalam kasih’.
‘Di dalam Yesus Kristus’ lah keselamatan manusia ditentukan, Kisah 4:12. Alkitab mencatat bahwa Yesus Kristus itu menjadi ‘Batu Penjuru’, Mazmur 118:22-23; Yesaya 28:16; Matius 21:42; Markus 12:10-11; Kisah 4:11-12; Efesus 2:20. Batu penjuru artinya: ukuran, patokan, standar. Tetapi batu penjuru itu mempunyai fungsi ganda. Bila orang tidak mau hidup dengan patokan, ukuran atau standar keselamatan itu, ‘batu penjuru’ itu pada sisi lain menjadi ‘batu sandungan’, Yesaya 8:13, 15; Lukas 20:17-18; Roma 9:32-33; 1 Petrus 2:6-8. ‘Batu sandungan’ itu juga adalah ‘batu kebinasaan’, Lukas 20:18. Yudas Iskariot adalah ‘anak kebinasaan – son of perdition’, Yohanes 17:12; Efesus 2:2; Kolose 3:6, karena ia murtad dan berbalik menyerahkan Yesus, Yohanes 13:18; 6:70-71. Binasanya Yudas Iskariot itu bukan ditentukan oleh Allah, melainkan pilihannya sendiri, ia tersandung pada ‘batu sandungan’ itu.
Bila penentuan selamat atau binasanya manusia dilakukan oleh Allah secara langsung kepada manusia, maka hal itu sama persis dengan fatalisme – percaya kepada takdir. Ya, Calvinisme itu sama dengan fatalisme. Tetapi yang benar yakni: Alkitab bersaksi dari Kejadian sampai Wahyu, bahwa hukum dan takdir keselamatan manusia itu dilakukan Allah melalui Yesus Kristus. Di dalam Yesus Kristuslah hukum dan takdir (predestinasi) keselamatan itu ada, 1 Petrus 1:20cf: 2 Timotius 1:9-10; Titus 1:2-3; Wahyu 13:8. Disinilah terbukti bahwa Allah itu bukan hanya Maha Kuasa dan Maha Tahu, tetapi juga sekaligus Maha Kasih, Maha Kudus, Maha Benar dan Maha Adil.
4.6 Allah itu Maha Benar.
Menarik sekali membahas kata ‘benar’ dalam bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan sifat-sifat Allah. Dalam bahasa Indonesia kata ‘benar’ untuk istilah theologi mempunyai dua arti penting yang saling berkaitan. Pertama: ‘Benar’ dalam arti, tidak salah, Amsal 24:24; righteous (Inggris) – tsaddiq (Ibrani) – dikaios (Grika). Kedua: ‘Benar’ dalam arti, tetap, tidak berubah, kekal; – true (Inggris) – emeth (Ibrani) – alethinos (Grika). Kedua kata dalam bahasa aslinya itu berbeda dengan pengertiannya. Tetapi saling mengisi dan melengkapi dalam penerapannya.
a. Allah itu Benar (dalam arti Righteous).
Benar ini artinya: suatu keadaan yang benar atau tingkah laku yang benar yang diukur dengan standar Ilahi. ‘Benar’ dalam arti kata righteous ini juga merupakan dasar dari dua sifat Allah yang lain, yakni: ‘Kudus’ (Kisah 3:14; Wahyu 16:5) dan ‘adil’ (kata benar ini sering diterjemahkan dengan kata adil). Jadi, ‘benar’ ini sebenarnya adalah tingkah laku Allah sendiri, yang benar dalam standar Ilahi. TUHAN Allah itu benar (selalu dibandingkan dengan keadaan dan tingkah laku manusia yang salah) Keluaran 9:27; 2 Tawarikh 12:6; Ezra 9:15; Nehemia 9:8, 33; Mazmur 11:7, 119:137; Yesaya 45:21; Yeremia 12:1; Ratapan 1:18; Daniel 9:14; Yohanes 17:25; Wahyu 16:5, 7. Pada gilirannya, Yesus Kristus itu benar, Lukas 23:47; 2 Timotius 4:8; 1 Yohanes 2:1-2; 3:7. Yesuspun disebut ‘orang benar – The Righteous One’ – Kisah 3:14; 7:52; 22:14.
Karena Allah itu benar, maka tindakan atau perbuatan-perbuatanNya adalah ‘benar’ – kata ‘benar’ (atau kebenaran) ini sering diterjemahkan dengan kata ‘adil’ (atau keadilan), Mazmur 36:7, 11; 40:11; 51:16; 72:2, 15-16, 19, 24; 72:1-2; 88:13; 89:17; 103:17; 111:3; 19:40, 142; 143:1, 11; 145:7; Daniel 9:16; Mikha 6:5. Karena Allah itu benar, muncullah hukum Allah yang benar – tsaddiq (Ibrani), Mazmur 19:9; 111:3 119:7, 62, 106, 160, 164; 2 Korintus 9:9. Pada tahap berikutnya muncullah pengadilan atau penghakiman Allah yang benar atau adil, Mazmur 72:1-2; Roma 2:5-6; 2 Tesalonika 1:5-6; Wahyu 16:7; 19:2. Karena Ia adalah hakim yang benar atau adil yang menghakimi dengan benar atau adil pula, Yeremia 11:20; 2 Timotius 4:8; 1 Petrus 2:23; Wahyu 16:5-7.
Karena Allah itu benar, maka dari kebenaran Allah itulah manusia menjadi benar – menjadi ‘orang benar’. Dengan tegas Roma 1:17 menulis: ‘Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘orang benar hidup oleh iman’. Walaupun memang semua orang telah berdosa, tetapi ia dapat menjadi orang benar, karena ia percaya dan dibenarkan dalam iman, Kejadian 15:6. Dalam Roma 3:26 ditegaskan, “. . . bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus”. Lihat juga Roma 3:21-26, 28:30; Galatia 2:16. Tetapi iman dan pembenaran karena percaya, iapun dibenarkan karena perbuatan kebenarannya, Matius 5:20; Kisah 10:35; Roma 5:18; 6:16; Titus 3:5; Ibrani 11:33; 1 Yohanes 2:29; 3:7, 10; Wahyu 22:11; Matius 3:15; Lukas 7:29; 1 Yohanes 2:17; 2 Petrus 1:5-8.
b. Allah itu benar (dalam arti true).
Benar dalam arti true ini adalah kata sifat yang berarti: betul, sejati, asli, tulen, jujur, murni, sungguh-sungguh. Kata benar ini menunjuk pada sesuatu yang secara realita kokoh, permanen, tidak berubah, kekal. TUHAN Allah itulah yang benar – true (dibandingkan dengan keadaan manusia yang fana), Yeremia 10:10; Yohanes 3:33; 8:26; Roma 3:4. Ungkapan tentang Allah yang benar itu dikokohkan lagi oleh kesaksian Alkitab, Yohanes 7:28; 17:3; 1 Tesalonika 1:9; 1 Yohanes 5:20; Wahyu 6:10. Jadi kata ‘benar’ dalam arti true disini sebenarnya menunjuk pada sesuatu yang hakiki atau substansial, sehingga yang lain itu atau yang serupa dengannya adalah tidak benar, tidak sungguh, tiruan. Itulah sebabnya Allah menyatakan siapa diriNya: “. . . tidak ada Allah lain selain dari padaKu . . .”, Ulangan 4:39; Yesaya 44:6, 8; Yohanes 17:3. Yesuspun menyebut diriNya ‘Kebenaran – the Truth’, Yohanes 14:6. Roh Kudus pun disebut ‘Roh Kebenaran’ – the Spirit of Truth’, Yohanes 14:17; 16:13; 1 Yohanes 4:6.
Karena Allah itu benar – true, maka Firman Allah itu adalah kebenaran – the Truth, 2 Samuel 7:28; 1 Raja-raja 17:24; Yohanes 17:17; 2 Korintus 6:7; Efesus 1:33; 2 Timotius 2:15; Wahyu 19:9. Firman Allah yang adalah kebenaran itu, pasti kekal, Yesaya 40:8; 1 Petrus 1:25; Firman Kristus pun kekal, Matius 24:35; Markus 13:31; Lukas 21:33. Karena Allah itu benar dan FirmanNya adalah kebenaran, maka dari FirmanNya itu muncul hukum Allah. Allah memberi hukumNya untuk menyatakan keadilanNya. Bila keadilan manusia berdasarkan haknya, maka keadilan Allah berdasarkan kebenaran (dalam arti righteousness) yang dinyatakan dalam Firman Kebenaran (dalam arti truth-Nya).
Karena Allah itu benar – true, maka dari kebenaran – truth Allah itulah manusia dikuduskan atau dimurnikan. Setelah orang percaya dibenarkan, maka dalam tahap keselamatan selanjutnya, ia dikuduskan. Firman Allah (Firman Kebenaran – The Truth) dan Roh Kudus (Roh Kebenaran – The Spirit of Truth) lah yang menguduskan orang percaya, Yohanes 17:17, 19; Ibrani 10:22; Yakobus 4:8; Titus 2:14; 1 Tesalonika 4:3-4; 1 Petrus 1:2; Kisah 20:32; Roma 15:16; 1 Korintus 6:11; Efesus 5:26; 2 Tesalonika 2:13; 1 Petrus 1:12. Roh Kudus bekerja menguduskan orang percaya lewat pembenaran. Tetapi Firman Allah menguduskan jiwa manusia ketika wujud sikap batinnya berbentuk ketaatan pada kebenaran (truth), yang menjadi perbuatan kebenaran (the act of righteousness), 1 Petrus 1:22; 2 Tesalonika 2:13.
Sifat Allah yang benar itu memberi warna pada sifat Allah yang lain, bila sifat benar – true itu dipasangkan dengan sifat-sifat Allah yang lain: Allah itu benar – true, dan hidup, Yeremia 10:10; 1 Tesalonika 1:9; 1 Yohanes 5:20.
Allah itu benar – true, dan kudus, Wahyu 6:10.
Allah itu benar – true, dan adil, Wahyu 6:10; 15:3; 16:7; 19:2.
Allah itu benar – true, dan setia, Wahyu 19:11.
Allah itu benar – true, dan maha kuasa, Wahyu 15:3; 16:7.
Jadi, bila sifat Allah yang benar (dalam arti kata ‘righteous’) dan benar (dalam arti kata ‘true’) dipadukan, maka akan didapat skhema tentang ‘Allah yang benar’ seperti dibawah ini:
Righteous
Benar dalam arti ‘righteous’, II Tawarikh 12:6
Semua manusia berdosa
Karena Allah benar – righteous, maka tindakannya pasti adil
Dari kebenaran – righteousness-Nya, muncul keadilan Allah
Dari kebenaran – righteousness-Nya, manusia dibenarkan (justified). Hal merupakan hasil dari sikap batin manusia-yakni respons pribadi pada Firman kebenaran atau The Word of Truth itu, yakni percaya.
True
Benar dalam arti ‘true’, Yeremia 10:10
Semua manusia fana
Karena Allah benar – true, maka Firman pasti kekal
Dari Firman kebenaran – Truth-Nya, muncul hukum Allah
Dari Firman kebenaran – Truth-Nya,manusia dikuduskan (sanctified). Hal ini menjadi nyata dari hasil sikap batin yang telah dibenarkan. Sikap taat karena pengudusan jiwa itu, berbuah-kan perbuatan dalam kebenaran – the act of righteousness; perbuatan dalam iman.
Betapa ajaibnya sifat-sifat Allah itu bagi manusia. Tidak heran bila orang percaya disebut orang benar, karena kebenaran Allah yang beraspek ganda itu dapat menjadi bagian orang percaya. Bandingkanlah dengan kebenaran manusia, Yesaya 64:6.
4.7 Allah itu Maha Baik.
Bilangan 19:19; 1 Tawarikh 16:34; 2 Tawarikh 5:13; 5:41; 7:3; Ezra 3:11; Mazmur 25:8; 34:9; 69:17; 73:1; 86:5; 100:5; 135:3; 145:9; Yeremia 33:11; Matius 5:45; 19:17; Markus 10:18; Lukas 18:19. ‘Baik’ adalah suatu sifat yang menyenangkan dan disenangi oleh semua orang karena dilatar-belakangi oleh kebajikan atau perbuatan baik. Oleh karenanya, ‘baik’ itupun merupakan bagian utama dalam sistem nilai: “. . . tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu”, Galatia 5:23.
Allah itu memang baik. Bila segala kebaikan manusia direndengkan dengan kebaikan Allah, maka nyata benar bedanya: Lukas 18:19 mencatat: “Jawab Yesus, mengapa kau katakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari Allah saja . . .” Memang banyak manusia yang mempunyai nilai-nilai baik, Lukas 7:4-5; Kisah 10:1-2. Tetapi kebaikan manusia tidak lengkap dan sempurna, dengan kata lain, kebaikan manusia itu terbatas sebagaimana sifat keterbatasan manusia itu sendiri. Kebaikan Allah itu lengkap dan sempurna serta tidak terbatas: “Bersyukurlah kepada TUHAN sebab Ia baik. Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya”, Mazmur 136.
Dari pemahaman yang didapat melalui Firman Allah maka kebaikan Allah itu: Pertama, berlaku umum untuk semua ciptaanNya. Kedua, terbaik untuk semua ciptaanNya. Ketiga, lengkap. Keempat, kekal. Banyak hal yang dapat disebut kebaikan Allah, tetapi ada tiga pokok terpenting yang menjadi inti di dalamnya, yakni: Kasih; Kasih karunia (anugerah); Kasih setia.
a. Kasih.
Istilah kasih dalam kitab Perjanjian Baru ditulis dengan tiga kata yang paling terkenal, yakni: agape, phileo dan eros; serta masih ada dua lagi yang jarang disebut-sebut yakni: thelo dan storge. Walaupun demikian, standar arti kata kasih itu ada dalam kata ‘agape’ itu. Untuk memahami isi kasih Paulus menulisnya dalam 1 Korintus 13:4-8, juga ia mengekspresikan penerapan kasih itu, Roma 13:8-10; 15:2; Kolose 3:12-14. Kasih itu nampak dalam aksi atau penerapannya, bukan sekedar kata-kata atau konsepnya, 1 Yohanes 3:18. Tidak heran jika seluruh hukum Taurat hanya dapat disimpulkan menjadi dua bagian besar hukum, yakni: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia, Matius 22:36-40; Markus 12:28-31. Tidak heran pula, tindakan kasih adalah memberikan nyawa bagi mereka yang dikasihi, Yohanes 10:11; 15:13; 1 Yohanes 3:16.
Allah itu adalah kasih, 1 Yohanes 4:16; dan kasih Allah itu adalah dasar tindakan Allah menyelamatkan manusia, Yohanes 3:16. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih Allah. Kasih itu menutupi dosa yang banyak, tetapi bukannya mengampuni dosa. Pengampunan dosa itu harus melalui proses hukum keselamatan. Allah memang tidak mengingini seorang manusia pun binasa karena kasihNya, tetapi keselamatan manusia itu ditentukan lewat proses hukum keselamatan itu, Yehezkiel 18:23; 33:11; 1 Tesalonika 5:9; 2 Petrus 3:9.
Jelas sekali, Allah itu Maha Kasih, dan penerapan kasih Allah itu dialami langsung oleh manusia. Kasih itu selalu ‘dua arah’. Arah pertama, adalah Allah yang menyatakan kasihNya kepada manusia. Oleh kasihNya, Allah menyediakan keselamatan bagi manusia – yang tidak secara langsung diberikan kepada manusia – tetapi lewat Yesus Kristus. Jelas sekali, bahwa orang percaya diselamatkan lewat jalan satu-satunya yakni Yesus Kristus. Penentuan pilihan (predestinasi) Allah bagi keselamatan manusia ada dalam Yesus Kristus. Arah kedua, adalah manusia yang memberi respons terhadap tindakan Allah dengan menyatakan kasih kepada Allah. Tetapi kasih manusia kepada Allah itu menjadi benar bila manusia mentaati hukum-hukum Allah, Yohanes 14:15, 23; Roma 13:10. Semua hukum Allah itu menunjuk kepada Yesus. Dari pemahaman ini menjadi lebih jelas bahwa ‘pernyataan kasih Allah kepada manusia’ itu lewat Yesus Kristus. Sedangkan ‘respon manusia untuk mengasihi Allah’ itu harus lewat Yesus Kristus.
b. Kasih Karunia (Anugerah).
Kasih karunia atau anugerah; Grace (Inggris); Gratia (Latin); Kharis (Grika), adalah pemberian Allah dengan cuma-cuma kepada manusia lewat iman, Roma 4:16. Kasih karunia ini merupakan bagian dari kebaikan Allah, Efesus 2:7. Kitab Perjanjian Lama lah yang meletakkan dasar pemahaman kasih karunia itu, walaupun ayat-ayatnya sedikit. Kasih karunia; Khen (Ibrani) adalah pemberian pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Kasih karunia Allah kepada manusia, Kejadian 6:8; Keluaran 33:12cf; Bilangan 6:25; Hakim-hakim 6:17; Mazmur 77:10; 84:12; Yeremia 31:2. Ada pula kasih karunia manusia kepada manusia, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata ‘kasih’; ‘kasihan’; ‘belas kasih’; ‘suka’ atau ‘murah hati – kemurahan’; Kejadian 32:5; 33:8cf; 39:4; 50:4; Bilangan 32:5; Rut 2:2, 10; 1 Samuel 20:3; 27:5; 2 Samuel 14:22; 16:4; Ester 2:17. Prinsip ini dutulis dalam Ibrani 7:7.
Dari dasar pemahaman ini, jelas bahwa ‘perjanjian-perjanjian’ (testaments) Allah bagi umat manusia, berdasarkan prinsip kasih karunia ini. Di satu sisi, Allah itu sebagai pihak yang superior; di sisi lain, orang percaya itu sebagai pihak yang inferior. Allah memberi kasih karunia dalam sifat baikNya itu, manusia hanya menerima dan menerima. Manusia tidak ada ‘tegen prestitie’ (Belanda) – ‘suatu perbuatan atau materi yang diberikan sebagai balas jasa’ – untuk diberikan kepada Allah, selain percaya dan setia melaksanakan hukum-hukum Allah, Kejadian 17:4, 9.
Kitab Perjanjian Baru mengulas kasih karunia itu begitu rinci. Ternyata kebaikan Allah itu bersifat umum kepada semua mahluk. Walaupun kehidupan semua manusia itu adalah kasih karunia Allah juga, 1 Petrus 3:7; dan kasih karunia juga untuk semua manusia, Roma 5:15cf; Ibrani 2:9, tetapi ada kasih karunia Allah yang lebih spesifik, yang lebih diprioritaskan untuk orang-orang percaya. Di dalam Yesus Kristuslah ada segala kepenuhan kasih karunia dan kebenaran Allah, Lukas 2:40; Yohanes 1:14, 16; Efesus 1:6; 2 Timotius 1:9; 1 Petrus 5:10. Lalu dari Yesus Kristus, kasih karunia itu dialirkan, Yohanes 1:17; Roma 16:20; 2 Korintus 8:9; Galatia 1:6; Efesus 2:7. Ada ‘Injil kasih karunia’, Kisah 20:24; ‘firman kasih karunia’, Kisah 20:32; ‘tahta kasih karunia’, Ibrani 4:16; dan ‘roh kasih karunia’, Ibrani 10:29.
Keselamatan adalah kasih karunia, Titus 2:11; 1 Petrus 1:10, karena Yesus mengalami maut oleh kasih karunia Allah bagi semua manusia, Ibrani 2:9. Penebusan oleh darahNya adalah kasih karunia, Efesus 1:7; pembenaran adalah oleh kasih karunia, Titus 3:7. Tetapi keselamatan sebagai kasih karunia itu harus diterima dengan iman dan percaya, Roma 5:1-2; 11:5cf; Efesus 2:5-8; Kisah 14:3; 15:11. Iman dan percaya itu bukan ‘tegen prestatie’ (Belanda), melainkan ‘prestasi’ – keputusan pribadi untuk menerima semua pembenaran Firman Allah dan setia melakukan segala perintah Allah. Bila tidak demikian maka salib Yesus Kristus itu akan menjadi ‘batu sandungan’ , Galatia 5:11.
Bagi mereka yang sudah menerima keselamatan itu, Allah memberi kasih karunia yang lebih spesifik. Ada kasih karunia untuk orang banyak, yang dalam hal ini adalah Jemaat Allah, Kisah 4:33; 11:23; 13:43; 1 Korintus 1:4; 2 Korintus 1:15; 4:15; 8:1. Ada juga kasih karunia bagi pribadi-pribadi, tetapi jenisnya berbeda-beda menurut ukuran pemberian Kristus, Roma 12:3-6; Efesus 4:7; 1 Petrus 4:10; 1 Korintus 3:10; 2 Korintus 12:9; Galatia 1:15; 2-9; Efesus 3:2; Filipi 1:7; 1 Timotius 1:14; Ibrani 4:16; 1 Petrus 1:13. Tetapi jangan lupa; kasih karunia itu dapat ditolak; disia-siakan ; atau disalah-gunakan, Roma 6:1cf; 1 Korintus 15:10; 2 Korintus 6:1; Galatia 5:4cf; Ibrani 12:15; Yudas 1:4. Orang-orang Yahudi itupun menolak kasih karunia Allah karena menolak Yesus, Galatia 2:21. Berarti keselamatan yang Allah anugerahkan dapat hilang karena menolak, menyia-nyiakan atau menyalahgunakan kasih karunia Allah itu. Sungguh keliru pandangan Calvinisme yang mengajar berdasarkan ‘doktrin pilihan’ bahwa kasih karunia itu hanya untuk sebagian manusia dan kasih karunia itu tidak dapat ditolak. Dari penerjemahan kata ini dalam kitab Perjanjian Lama, jelas kelihatan bahwa kasih karunia ini merupakan bentuk ‘kebaikan Allah’ atau ‘kemurahan Allah’ bagi manusia, sebagai pihak superior kepada pihak inferior.
c. Kasih Setia.
Kalau kata kasih karunia ditulis begitu banyak dalam kitab Perjanjian Baru, kata ‘kasih setia’ ditulis begitu banyak dalam kitab Perjanjian Lama; sekitar 250 kali disebutkan. Sebenarnya dalam bahasa aslinya kata kasih setia itu ditulis dengan ‘khesed’ (Ibrani) atau ‘eleos’ (Grika). Kata ‘khesed’ ini tidak dapat diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa-bahasa lain. Dalam bahasa Inggris saja kata ini diterjemahkan dengan kata ‘mercy’ atau dengan frasa ‘loving kindness’ atau ‘steadfast love’. Frasa terakhir yang dipakai adalah untuk menunjuk kepada kasih Allah yang setia terhadap perjanjian-perjanjianNya. Selain itu ada variasi arti yang cukup luas, yakni: kemurahan; kebaikan dan panjang sabarnya Allah, yang amat berlimpah. Dipakainya kata kasih setia yang begitu banyak dalam kitab Perjanjian Lama, ditambah dengan arti yang begitu luas, menunjuk pada kebaikan Allah yang luar biasa, dibanding dengan tegar tengkuknya Israel itu.
Dalam kitab Perjanjian Lama, hanya beberapa ayat yang menunjukkan kata kasih setia dari manusia kepada manusia. Pada umumnya ayat-ayat itu adalah ungkapan kasih setia Allah kepada manusia. Pengungkapan kata kasih setia yang terbanyak ada dalam kitab Mazmur. Dengan kata ‘khesed’ ini pemazmur mengungkapkan keyakinannya yang teguh atas kebaikan TUHAN yang menjadi sumber pertolongan, kekuatan, penghiburan, kemenangan. Semua hal baik ini dialami oleh si pemazmur bila ia juga taat dan setia melakukan segala hukum Allah.
Sifat kasih setia Allah itu seimbang. Di satu pihak Allah menunjukkan kasihNya yang setia terhadap perjanjian-perjanjianNya. Di pihak lain, orang-orang percaya yang menerima perjanjian Allah itu harus taat dan setia melakukan segala hukum Allah, Kejadian 17:4, 9. Bila orang percaya itu tidak setia, Allah tetap setia, 2 Timotius 2:13. Tetapi kesetiaan Allah itu dinyatakan dalam menghukum orang-orang percaya yang tidak setia itu sampai mereka bertobat. Bila mereka yang tidak setia itu sudah bertobat, kembalilah Allah menunjukkan kebaikanNya itu. Bila tidak bertobat, mereka akan binasa, Keluaran 20:5-6; Bilangan 14:8-9; Ulangan 5:9-10; 7:9-11, 12-26; 2 Samuel 7:15; 1 Raja-raja 3:16; 8:23; 1 Tawarikh 17:13; 2 Tawarikh 6:14; Nehemiah 1:5; 9:32-37; Ayub 37:13; Mazmur 36:6-8; 52; 62:13; 66:16-20; 89:15; 90:13-17; 101; 103:6-14; 15-18; 106:7; 119:124; Amsal 14:22; Yesaya 16:5; Ratapan 3:22, 32; Daniel 9:4; Hosea 10:12; Mikha 6:8; Zakharia 7:9; Matius 9:13; 12:7cf; 23:23; Lukas 1:50; Galatia 6:16; Titus 3:5; 1 Petrus 1:3.
Itulah sebabnya, kata ‘kasih setia’ itu dipasangkan dengan ‘kebenaran – the truth’, yang berarti : ‘pengajaran yang benar – yang berlawanan dengan pengajaran yang salah atau kesesatan’, Amsal 3:3; 14:22; 16:6; 20:28; Yesaya 16:5; Hosea 4:1; 6:4-6; 12:7cf.
4.8 Allah itu Maha Kudus.
Kitab Perjanjian Lama banyak mencatat kata ‘kudus’ atau ‘suci’ untuk menunjukkan keistimewaan sifat Allah yang satu ini. Dalam bahasa Ibrani, kata ‘qadosh’ – kudus itu, mempunyai arti dasar : ‘separate’, ‘set apart’ – ‘memotong’, ‘memisahkan’. Kata ini merupakan salah satu kata yang paling dalam maknanya di dalam kitab Perjanjian Lama, yang ditujukan untuk memberi gambaran bukan hanya pada sifat-sifat Allah, tetapi juga keseluruhan pribadi Allah, Imamat 11:44, 45; 19:2; 20:26; 21:8; 1 Samuel 2:2; 6:20; Mazmur 22:4; 99:3, 5, 9; 111:9; Yesaya 6:3. Idea kekudusan ini ditampung dalam kitab Perjanjian Baru dengan kata ‘hagios’, Lukas 1:49; Yohanes 17:11; 1 Petrus 1:15-16; Wahyu 4:8; 6:10.
Kalau dikatakan Allah itu Maha Kudus, itu bermakna bahwa Allah secara absolut berbeda dengan mahluk ciptaanNya. Terpisah dari dosa dan cacat moral secara absolut, 2 Raja-raja 19:22; Ayub 6:10; Yesaya 1:4; 5:19; 17:7; 37:23; 60:9, 14; Yeremia 50:29; 51:5; Yehezkiel 39:7; Hosea 11:9; Habakuk 1:12; 3:3. Tidak ada konsep kekudusan dalam dunia ini yang sama atau menyerupai konsep Alkitab. Jelas sekali dalam begitu banyak ayat Alkitab, bahwa kata kudus itu dipertentangkan secara radikal dengan dosa. Sebagai contoh: Yesaya 6:3-5, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam . . . Celakalah aku, . . . sebab aku ini seorang najis bibir”. Habakuk 1:13 menulis, “Mataku terlalu suci untuk melihat kejahatan.”
Kudus adalah sifat yang terutama, yang mewarnai pribadi dan sifat-sifat Allah yang lain. Pikiran, perasaan dan keinginan Allah sebagai pribadi adalah kudus. Sama sekali berbeda sifatnya dengan pikiran, perasaan dan keinginan manusia yang sudah tercemar oleh dosa. Penerapannya dalam sifat-sifat Allah yang lain itu nyata dan sungguh harmonis: Kedaulatan dalam ke-Maha Kuasaan Allah itu kudus; bila tidak demikian maka kedaulatan itu akan merosot sifatnya menjadi kesewenang-wenangan, bahkan kejam. Fatalisme dan Calvinisme itu sewenang-wenang dan kejam. Keadilan Allah tanpa kekudusan akan menjadi pembalasan dendam. Itulah sebabnya bagi manusia diberi kesempatan untuk percaya dan bertobat. Bila kebaikan Allah: kasih, anugerah, belas kasihan, kesabaran, kemurahan, tanpa kekudusan maka hasilnya adalah tidak ada neraka. Kebaikan itu akan menjadi kemanjaan tanpa batas kepada manusia, bukan merupakan kebaikan yang menyempurnakan. Jadi, sifat kudus Allah itu mewarnai seluruh sifat Allah sehingga sifat-sifat itu mencapai sasaran yang tepat dengan cara yang benar.
Semua manusia sudah berdosa di hadapan Allah yang kudus. Nampaknya dua objek ini merupakan dua kutub yang tidak dapat bertemu. Tetapi justru dalam kekudusanNya, Allah memberi isyarat keselamatan bagi manusia, yakni: “Kuduslah kamu karena Aku kudus”, Imamat 11:44-45: 19:2; 20:26; 21:8; 1 Petrus 1:16. Seluruh rangkaian Alkitab memberi gambaran umum, yakni: Pertama: Manusia yang sudah berdosa, memang terpisah dari Allah dan sia-sialah usaha manusia mencari Allah dengan kekuatannya sendiri. Kedua: Allah oleh kebaikanNya, menyediakan perantara bagi manusia, supaya manusia dapat menghampiri Allah. Perantara itu mulai dikenal manusia dengan ‘korban darah’ yang menunjuk kepada Yesus yang tersalib di Golgota. Keadilan Allah terpenuhi. Ketiga: Keselamatan itu memang anugerah Allah, tetapi juga merupakan proses penggenapan hukum Allah. Ibadah Tabernakel merupakan lambang proses keselamatan itu: Dari luar; masuk ke halaman; masuk ke ruang suci; dan akhirnya masuk ke ruang maha suci. Keempat: “Tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Allah”, Ibrani 12:14. Hal ini sebenarnya menunjuk pada peran Roh Kudus dalam keselamatan manusia. Inilah hidup dalam takut akan Allah. Tidak sekedar sudah sampai pada percaya, tetapi harus dilangsungkan sampai kekudusan – kesempurnaan.
Dibandingkan dengan kitab Perjanjian Lama, maka kitab Perjanjian Baru hanya sedikit mencatat tentang kekudusan. Apalagi, dalam Perjanjian Lama begitu banyak upacara korban sembelihan bagi pengampunan dosa. Tetapi Perjanjian Baru mencakup semua korban sembelihan itu dalam korban Yesus di kayu salib. Kemudian kitab Perjanjian Baru menempatkan Roh Kudus berperan mendewasakan, menguduskan dan menyempurnakan Gereja Tuhan.
4.9 Allah itu Maha Adil.
Dapat dibayangkan bila kekuasaan itu identik dengan keadilan (kasihpun dapat ditafsirkan menjadi kekuasaan). Maka apa yang ditetapkan oleh penguasa itu adalah keadilan, itulah tirani. Tetapi yang benar adalah, unsur keadilan dapat dipahami tersendiri di samping kekuasaan.
Alkitablah yang memberi patokan keadilan bagi umat manusia. Dalam menerapkan segala kedaulatanNya, Allah memberi hukum kepada semua ciptaanNya. Di dalam hukumNya nampak dengan jelas ke-Maha AdilanNya. Oleh keadilanNya, maka alam ciptaanNya yakni alam tak nampak dan alam nampak berada dalam keadaan harmoni. Hukum-hukum alam yang berlaku di bumi ini dalam keadaan harmonis. Planet bumi ini juga ada dalam keadaan harmoni dalam sistim tata surya yang ada. Sedang tata surya (galaxy) kita ini juga ada dalam harmoni, dalam sistim bima sakti – universe – melky way sistim atau alam raya yang ada.
Bagi mahluk-mahluk termulia ciptaan Allah; malaikat dan manusia, Allah menempatkan mereka secara khusus dalam sistim hukumNya, sehingga mahluk-mahluk ini mempunyai hak dan kewajiban, Kolose 1:16; Kejadian 2:15-17. Sayang sekali mahluk-mahluk ciptaan itu melawan hukum Allah, Yudas 1:6; Kejadian 3:6, mereka berdosa, ke-Maha Adilan Allahpun Nampak:
-Allah menjatuhkan hukuman bagi malaikat-malaikat yang berdosa, Matius 8:29; Ibrani 2:16.
-Allah memberi hukum keselamatan bagi manusia yang berdosa, Kejadian 3:15.
-Allah menguduskan surga yang sudah sempat tercemar oleh dosa, setan dan malaikat-malaikat lain yang melawan Allah, Ibrani 9:23.
-Allah menyiapkan tempat penghukuman bagi malaikat-malaikat yang berdosa dan bagi manusia yang tidak taat pada hukum keselamatan yang Allah anugerahkan, Matius 25:41.
-Allah menyiapkan langit dan bumi baru.
Harus dijelaskan bagaimana keadilan Allah dalam hukum keselamatan Allah itu. Akibat dosa ialah kematian, Kejadian 2:17; 3:19; Roma 6:23; Ibrani 9:27. Keadilan Allah yang diungkapkan dalam ToratNya, menegaskan adanya hukum pembalasan, yakni: kematian harus dibayar dengan kematian, Keluaran 21:23-25; Imamat 24:20; Ulangan 19:21; itulah keadilan yang seadil-adilnya. Upaya Allah menyelamatkan manusia dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan hukum Allah, yakni: Yesus yang tidak berdosa harus mati menebus manusia yang berdosa. Dengan kematianNya di kayu salib maka Yesus menggenapkan hukut Taurat, Matius 5:17; Yohanes 19:30.
Jadi jelas sekali bahwa keselamatan yang Allah anugerahkan kepada manusia itu bukan diberikan langsung, berdasarkan ‘ke-Maha Kuasaan’, ‘ke-Maha Tahuan’, dan ‘ke-Maha Kasihan’ Allah saja, melainkan dianugerahkan berdasarkan ‘ke-Maha Adilan’ Allah lewat Yesus Kristus:
-Keselamatan oleh Allah kepada manusia itu, lewat Yesus Kristus dalam keadilan hukum Allah.
-Keselamatan itu untuk semua orang, bukan hanya kepada beberapa orang yang ditentukan berdasarkan pilihan saja (menihilkan Calvinisme/Hyper Calvinisme – doktrin tentang takdir). Keselamatan itu hanya dapat diterima manusia dengan dasar percaya lewat hukum keselamatan. Dalam ke-Maha AdilanNya, orang-orang yang tidak percaya akan menerima penghukuman. Kepada manusia, Allah meminta pertanggung jawaban.
-Keselamatan Allah, ternyata tidak begitu saja dianugerahkan kepada manusia karena kasih Allah, melainkan lewat hukum keselamatan itu (menihilkan Calvinis Unversalisme; doktrin yang mengajarkan bahwa semua manusia itu selamat oleh kasih Allah).
5. Allah itu tidak dapat mengingkari diriNya sendiri;
Sifat-sifat Allah harus dilihat dari satu kesatuan. Pernyataan 2 Timotius 2:13 yang berbunyi : “. . . karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya”, merupakan gambaran awal supaya manusia harus berupaya memahami sifat Allah sebagai suatu kesatuan. Bila sifat-sifat Allah itu dilihat secara terpisah-pisah tanpa melihat pada sifat-sifat Allah yang lain, maka manusia akan melihat secara sepihak atau ekstrim, 1 Korintus 4:6; dan kesimpulannya pasti tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya, 1 Korintus 2:13-16. Beberapa contoh cara pandang yang sepihak atau ekstrim, yakni antara lain: Bila orang melihat secara ekstrim pada sifat kebaikan Allah, ia pasti akan mengambil kesimpulan bahwa tidak ada neraka, sebab Allah tidak tega menghukum manusia karena kasihNya – itulah Universalisme. Tetapi ternyata, ada sifat Allah yang lain, yakni: keadilan Allah yang berdasarkan pada kebenaran dan kekudusan Allah, sehingga Allah menyiapkan penghukuman bagi mereka yang tetap melawan FirmanNya. “Allah tidak dapat menyangkal diriNya sendiri”.
Bila orang melihat secara ekstrim pada sifat ke-Maha Kuasaan Allah, apalagi ditambah dengan ke-Maha Tahuan Allah, maka ia akan tiba pada pandangan Fatalisme (Fatum – Latin) berarti nasib. Manusia akan menganggp segala sesuatu yang menimpa dia adalah nasib yang berdasarkan penentuan oleh kedaulatan Allah, termasuk selamat atau tidaknya ia – itulah Calvinisme. Tetapi ternyata ada sifat-sifat Allah yang lain, yang tidak boleh diabaikan. Sifat-sifat itu yakni: kebaikan Allah, berupa kasih, kemurahan, kesabaran, 2 Petrus 3:9 yang tidak mengingini manusia binasa. Masih ada lagi sifat Allah yang lain, yakni: kudus. Bila Allah yang menentukan manusia itu masuk ke dalam neraka, dengan menyediakan neraka serta penderitaan yang maha dahsyat itu, hal itu berarti Allah tidak kudus karena menjadi penyebab dosa dan merancang kematian kekal serta sengsaranya itu bagi manusia. Ingat baik-baik, bahwa hal serupa itu tidaklah mungkin, karena: “Allah tidak dapat menyangkal diriNya sendiri”.
Untuk mendapatkan pemahaman yang seimbang dan benar tentang Allah, hendaklah sifat-sifatNya dilihat dari semua sudut pandang. Jangan melebih-lebihkan yang satu sehingga manusia berkesimpulan secara extra biblika, sekaligus jangan mengurangi yang lain sehingga manusia meremehkan sifat itu, 1 Korintus 4:6.
6. Rahasia keselamatan manusia terungkap dalam sifat-sifat Allah.
Sebenarnya, dengan memahami sifat-sifat Allah, rahasia keselamatan dari Allah itu terungkap. Manusia menjadi tahu menempatkan dirinya pada posisi sebenarnya dihadapan Allah. Beberapa contoh dapat dijelaskan:
Sifat Kudusnya Allah. Alkitab mencatat bahwa Allah itu kudus. Tetapi Alkitab juga menulis ucapan Allah: “Kuduslah kamu, karena Aku kudus”, Imamat 11:44-45; 19:2; 1 Petrus 1:16. Dengan demikian, dalam sifat kudusNya itu, Allah menginginkan manusia hidup sesuai sifatNya, yakni kudus. Dengan tegas Alkitab mencatat : ” . . . tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan”, Ibrani 12:14. Itu berarti manusia diperintahkan Allah untuk mencari tahu rahasia hidup kudus; dan rahasia hidup kudus itu diajarkan oleh Alkitab.
Sifat Kebaikan Allah. Alkitab mencatat bahwa Allah itu baik, Bilangan 10:19; Mazmur 25:8; 34:9; 69:17; 73:1; 86:5; 100:5; 135:3; 145:9; Matius 5:45. Di dalam kebaikanNya itu ada: Kasih; Kasih Setia (Panjang sabar dan Kebaikan); Kasih Karunia (Anugerah) dan lain-lain lagi. Oleh kebaikan Tuhan, maka Ia mengampuni dosa manusia dan menganugerahkan keselamatan. Tetapi apakah dengan kebaikan Tuhan itu manusia boleh bermanja-manja, berbuat apa saja sekehendak hatinya?, Roma 6:1cf. Jangan salah tafsir! Paulus menulis panjang lebar dalam Roma 5:20; 6:14. Justru oleh kebaikan Allah itu, maka orang percaya dapat hidup dalam hidup baru (Roma 6:4); mati bagi dosa, hidup bagi Allah (Roma 6:11); tidak hidup dalam kuasa dosa (Roma 6:14). Petrus menulis dengan tegas : “. . . Ia sabar terhadap kamu, . . . supaya semua orang berbalik dan bertobat’, 2 Petrus 3:9.
Sifat ke-Maha Kuasaan Allah. Alkitab mencatat bahwa Allah itu maha kuasa dan maha tahu. Ia berdaulat penuh dalam setiap tindakanNya. Apakah dengan demikian manusia pasrah saja pada keadaan apa adanya dalam dosanya menunggu nasib? Matius 25:24-25; Lukas 19:20-21. Sebenarnya maksud Allah memperlihatkan ke-maha kuasaan dan kedaulatanNya itu supaya: “Kiranya hati mereka selalu begitu, yakni takut akan Daku dan berpegang kepada segala perintahKu”, Ulangan 5:29cf. Penulis Ibrani lebih menegaskan: “Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia yang menyampaikan Firman Allah di bumi, tidak luput, apalagi kita, jika kita berpaling dari Dia yang berbicara dari Surga?”, Ibrani 12:24.
7. Kesimpulan Dalam bab ini ada tiga pokok penting yang dipelajari yakni:
‘Pembuktian bahwa Allah itu berpribadi’; ‘keadaan dasar pribadi’; dan ‘sifat-sifat pribadi’ Allah. Ternyata untuk memahami pribadi Allah itu, maka tiga pokok penting itu harus dipelajari bersama, sebab ketiganya saling berkaitan erat dan saling menerangkan. Jadi pribadi Allah itu dijelaskan oleh keadaan dasar dan sifat-sifatNya.
Dari penjelasan tentang pribadi Allah ini begitu pekat terasa: betapa kecilnya atau tidak berartinya manusia itu. Kesimpulannya dapat diungkapkan dalam empat pertanyaan yang dapat dijawab dengan berbagai pertanyaan:
– Untuk apa manusia mengenal Allah? Supaya manusia percaya kepadaNya, Mazmur 46:11100:3Yeremia 31:34cf; 1 Korintus 8:4.
– Untuk apa manusia mengenal pribadi Allah? Supaya manusia memahami agungnya nilai penciptaan baginya (gambar Allah), Kejadian 1:26-27; dan nilai keselamatannya, 2 Korintus 3:18.
– Untuk apa manusia mengenal keadaan dasar pribadi Allah? Supaya manusia mengenal dirinya sendiri seperti Ayub, Ayub 39:37-3842:1-6.
– Untuk apa manusia mengenal sifat-sifat pribadi Allah? Supaya manusia tahu ‘takut akan Allah’, Ulangan 5:29Ibrani 12:28cf.

(Bersambung)


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments